Oleh: Dhimam Abror Djuraid
Bagi orang Jawa, setiap ada kesulitan pasti akan ada jalan. Karena itu, pada 1963 seorang ibu di Desa Campurdarat, Tuluangagung, Jawa Timur, memberi nama ‘’Margiono’’ kepada anaknya yang baru lahir. Margi artinya jalan, ono artinya ada. Selalu ada jalan.
Nomo kinaryo jopo. Nama mempunyai kekuatan doa dan harapan. Nomo atau nama, bukan sekadar identitas, tetapi membawa harapan dan doa. Kalau seorang anak tidak kuat menyangga namanya, dia bisa sakit-sakitan. Begitu keyakinan mistisisme Jawa.
Jopo, bagi orang Jawa, bukan sekadar doa dan harapan, tapi juga ada kekuatan spiritual dalam bentuk rapalan. Maka, memberi nama seorang anak adalah upaya memberi identitas dan menggantungkan harapan, agar sang anak bisa menemukan jalan dalam hidup.
Maka Si Margiono kecil tumbuh menjadi manusia yang selalu menemukan jalan untuk mengatasi berbagai kesulitan, dan selalu ada jalan untuk meraih berbagai keinginannya. Dari desanya yang terpencil Margiono terbang tinggi menjadi salah satu tokoh pers nasional yang mengukir sejarah.
Latar belakang budaya Tulungagung menjadi identitas personal Margiono. Tulungagung adalah wilayah Jawa Timur dengan budaya mataraman yang lebih kental dengan pengaruh Jawa Tengah. Masyarakat Tulungagung lekat dengan budaya Jawa abangan dengan berbagai variannya.
Tradisi sabung ayam menjadi salah satu tradisi khas Tulungagung. Dalam tradisi Jawa, adu jago identik dengan taruhan yang sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari tradisi itu. Judi sabung ayam menjadi bagian dari tradisi yang sudah berlangsung turun temurun di Tulungagung.
Praktik perjudian kecil seperti judi kopyok atau judi kolas yang berhadiah telor asin, menjadi tradisi yang dijumpai di berbagai keramaian, seperti di pesta perkawinan atau pesta desa sedekah bumi setelah panenan.
Wayang menjadi pertunjukan yang paling populer di kalangan masyarakat. Pada setiap perhelatan biasanya warga menanggap wayang. Dan pada kesempatan itu permainan judi kecil-kecilan itu menjadi bagian dari perhelatan.
Tradisi sabung ayam dan judi itu melahirkan kelas elite sosial yang disebut sebagai ‘’botoh’’. Sebutan botoh diberikan kepada orang-orang membawa ayam ke arena sabung dan bertindak semacam pelatih seperti dalam pertandingan tinju.
Para botoh menjadi kelas elite sebagai pemilik ayam-ayam aduan yang jagoan. Para botoh juga sekaligus bertindak sebagai petaruh yang menjagokan ayamnya di setiap arena sabung. Para botoh ini menjadi tokoh yang disegani dan berpengaruh di masyarakat, dan kemudian berkembang menjadi opinion leader atau opinion maker. Para botoh ini kemudian menjadi broker politik yang kuat karena jaringannya yang mengakar.
Pertunjukan wayang merupakan pertunjukan favorit di kalangan masyarakat Tulungagung. Karena itu para dalang mendapatkan posisi sosial yang tinggi dan dihormati. Dalang-dalang yang terkenal mempunyai status sosial yang elite di kalangan masyarakat. Margiono mempelajari pedalangan dan menjadi dalang, meskipun tidak profesional.
Discussion about this post