“Kemudian yang semakin memprihatinkan bagi kita misalnya, dengan hadirnya UU 3/2020 yang kemudian memberikan banyak keistimewaan bagi industri tambang, dia begitu menikmati apa yang kita lihat sebagai fenomena bad governance dalam pengelolaan tambang kita, mestinya itu justru yang harus diadvokasi oleh ormas keagamaan bukan kemudian justru ikut masuk ke dalam permainan itu. Jika dia di situ justru menjadi tidak memiliki semacam legitimasi moral untuk menyuarakan anti tambang,” papar Totok.
Tareq M. Aziz Elven, selaku Associate INTEGRITY Law Firm menyambut penyampaian Totok Dwi Diantoro dengan menyatakan pada pokoknya jika pemberian konsesi kepada ormas keagamaan didasarkan pada Pasal 83A PP 25/2024 justru bertentangan dengan aturan yang di atasnya yakni Pasal 75 ayat (3) dan ayat (4) UU 3/2020.
“Jika melihat Pasal 83A PP 25/2024, IUPK diberikan secara langsung oleh pemerintah ke ormas keagamaan. Sedangkan Pasal 75 ayat 3 dan 4 UU 3/2020 mengatur mekanisme lelang untuk pemberian IUPK bagi BUMS. Karenanya, setiap IUPK yg diterbitkan atas dasar Pasal 83A PP25/2024 cacat hukum,” ujar Tareq.
Pemaparan dilanjutkan dengan penyampaian dari Wasingatu Zakiyah mewakili Board PWYP Indonesia. Ia menjelaskan bahwa mestinya kita lebih berfokus untuk mempermasalahkan peraturan yang memberikan konsesi tambang kepada ormas keagamaan, bukan berkonflik dengan masyarakat madani melainkan langsung kepada kebijakan pemerintah yang merugikan masyarakat.
“Kita tidak sedang bertentangan dengan itu (NU dan Muhammadiyah), maka kalau kemudian kita mempersoalkan PP 25/2024 kita sesungguhnya melawan negara, yang harus kita lawan adalah negara, sudah bukan level kita melawan masyarakat sipil, tapi yang harus dilakukan adalah memberikan perlawanan kepada negara karena hari ini setelah reformasi kita “dinina bobokan”… salah satu perlawanan dari sisi hukum, adalah melakukan judicial review ke Mahkamah Agung,” beber Wasingatu.
Discussion about this post