Dewan Pers pernah mendapat pengaduan dari sebuah media di Jawa Tengah, yang dicap telah membuat berita hoaks oleh sebuah rumah sakit, padahal berita yang dibuat berdasarkan keterangan dari sumber yang jelas.
Berita mereka dicap “hoax” oleh lembaga kepolisian setempat, yang jelas menjatuhkan kredibilitas media karena sudah melakukan proses pemberitaan sesuai kaidah jurnalistik. Di dalam UU KUHP yang baru, status itu malah bisa berujung pidana penjara.
Dalam Nota Kesepahaman (MoU) Kepolisian RI dan Dewan Pers, yang berhak menetapkan sebuah berita adalah karya jurnalistik atau bukan, mestinya Dewan Pers, melalui proses pemanggilan kedua pihak yang merasa dirugikan dan penyelenggara media. Apakah ini masih berguna atau tidak apabila sudah ada pasal yang menjadikannya kasus pidana.
***
Upaya untuk melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi pastilah dilakukan oleh kita semua sebagai bagian dari masyarakat pers, agar pasal-pasal yang menghambat kemerdekaan pers, yang bertentangan dengan Pasal 28 UUD 45, dihapus.
Unjuk rasa pegiat pers, pegiat HAM, warga kampus, juga mungkin akan jalan terus walau tidak bakal mengubah apapun. Tetapi kalau itu tidak ditunjukkan, keadaan bakal dianggap baik-baik saja.
Tetapi yang mengherankan, kemana akal sehat dari para ahli yang merumuskan pasal-pasal yang “antireformasi” tersebut.
Apakah mereka masih merasa hidup di zaman Orde Baru?
Atau apakah merasa pers sudah menjadi penghambat penyelanggaraan pemerintah yang katanya demokratis sehingga kita selalu disebut negara demokrasi ketiga terbesar di dunia setelah India dan Amerika Serikat?
Dimanakah nurani para ahli yang berasal dari kampus, yang selalu mendengung-dengungkan kebebasan akademis, kemerdekaan berpendapat?
Marilah kita bersama-sama membela kemerdekaan pers, dengan seksama, sampai kapanpun, tetap lurus sekalipun bumi runtuh.(***)
Ciputat, 7 Desember 2022
Penulis: Wartawan senior, mantan Wakil Ketua Dewan Pers
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post