PENASULTRA.ID, KENDARI – Program konversi minyak tanah ke Liquefied Petroleum Gas (LPG) atau elpiji 3 kilo gram (kg) di Indonesia telah melewati satu dekade. Di Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) implementasi program Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ini telah memasuki tahun ketujuh.
Akhir Oktober tahun 2013, Gubernur Sultra kala itu, Nur Alam, meluncurkan agenda peralihan penggunaan produk yang biasa disebut gas melon di Sultra. Actionnya sendiri baru bisa direalisasikan Pertamina bersama Dinas ESDM Sultra awal tahun 2014.
Uji coba perdana dimulai di Kota Kendari. Menyusul kabupaten yang berada di wilayah daratan dan terakhir wilayah kepulauan. PT Pertamina selaku eksekutor program migrasi minyak tanah ke LPG gencar mengampanyekan penggunaaan tabung 3 kg atau gas melon sebagai pengganti bahan bakar memasak.
Kini nyaris semua daerah, termasuk desa-desa pelosok di Bumi Anoa tersentuh program konversi. Masyarakat mulai terbiasa menggunakan gas elpiji yang dianggap jauh lebih irit dibanding minyak tanah sebagai bahan bakar tempur di dapur.
Beralih Karena Hemat
Ialah Siti Megawati, warga desa terpencil di Desa Rahadopi Kecamatan Kabaena Kabupaten Bombana salah satunya mengaku cukup lama beralih menggunakan gas 3 kg. Sejak program konversi gas melon masuk di daerah terpencil itu, ibu rumah tangga ini mulai menanggalkan kompor minyak tanah miliknya.
Pemakaian gas 3 kg diakui jauh lebih hemat dibanding minyak tanah.
“Awalnya takut juga karena kan banyak yang bilang bahaya, meledak. Tapi dulu itu tahun 2017, karena minyak tanah mahal, kadang susah juga dapat, jadi pindah mi pakai gas. Kebetulan sudah masuk di sini di Kabaena. Banyak yang bilang juga itu lebih hemat,” ujar wanita berhijab itu.
Kata dia, pemakaian gas sebagai bahan bagan bakar memasak di dapur jauh ebih hemat dibanding minyak tanah. Empat tahun menjadi pelanggan setia tabung gas 3 kg, Mega merasakan perbedaan mencolok setelah beralih menggunakan gas melon.
“Hemat. Uangnya bisa dipakai untuk belanja kebutuhan rumah tangga lain. Satu tabung (3Kg) Rp 30 ribu bisa sampai dua minggu. Kalau minyak tanah, satu jeriken harga Rp 50 ribu (5 liter) paling lama satu minggu sudah habis. Memasak cepat. Panci juga bersih tidak ada bekas arangnya,” ulasnya.
Ia bersyukur, meski di daerah terpencil, keberadaan gas melon jauh dari kata langka sebagaimana banyak terjadi di perkotaan. Hanya saja, harganya melambung antara Rp 25 ribu hingga Rp 35 ribu per tabung isi ulang. Di pangkalan, isi ulang tabung sesuai Harga Eceran Tertinggi (HET) yakni Rp 17.900.
Kata Mega, harga dibanderol tinggi dari HET ini cukup dimaklumi. Pasalnya, tempat ia membeli bukanlah di pangkalan resmi melainkan di kios pengecer.
Lokasi pangkalan penjualan gas elpiji 3 kg yang jauh membuat warga di tempatnya terpaksa membeli gas subsidi di warung kecil. Tentu saja dengan tambahan harga ‘ongkir’ alias ongkos kirim.
Rumah yang ia diami yakni di Desa Rahadopi memang sangat jauh dari agen atau pangkalan resmi pemasok elpiji 3 kg. Di desa itu, masyarakat rerata membeli gas melon di kios-kios kecil. Mereka memperoleh elpiji subsidi dari kecamatan seberang yang letaknya cukup jauh yakni daerah Sikeli Kecamatan Kabaena Barat.
“Pangkalan adanya di Sikeli. Dari sana ke sini (Rahadopi) itu habis ongkos sekitar Rp 200 ribu. Ada pangkalan tapi mesti naik ferry sampai ke sini. Ada juga lewat darat, mobil. Yaah… Wajar kalau agak mahal. Dari pada mesti beli jauh ke sana. Tapi untungnya gas tidak pernah langka di sini,” urainya.
Ia berharap, ke depan harga gas elpiji di daerah terpencil itu bisa merata sesuai HET sebagaimana program BBM satu harga yang kini banyak digalakkan pemerintah.
Alur Distribusi yang Pelik
Discussion about this post