Reshuffle Kabinet
Kritik dari berbagai pihak, termasuk dari DPP PDI Perjuangan yang meminta Prabowo menyebutkan secara spesifik siapa yang dimaksud dengan “raja kecil,” juga perlu dipertimbangkan.
Kritik ini mencerminkan kebutuhan akan pendekatan yang lebih transparan agar tidak menimbulkan spekulasi politik yang justru dapat mengaburkan esensi reformasi itu sendiri. Transparansi dalam penegakan kebijakan akan memperkuat legitimasi reformasi dan meminimalisir potensi konflik yang dapat muncul akibat ketidakjelasan implementasi kebijakan.
Pasca 100 hari pertama pemerintahan, pernyataan Prabowo juga dapat dimaknai sebagai sinyal akan adanya reshuffle kabinet atau perombakan dalam struktur pemerintahan.
Sejarah politik Indonesia menunjukkan bahwa evaluasi kinerja dalam 100 hari sering kali menjadi indikator bagi presiden dalam menentukan apakah ada menteri atau pejabat tinggi yang perlu diganti. Langkah ini menjadi bagian dari strategi untuk memperkuat efektivitas pemerintahan.
Salah satu contoh konkret dari kebijakan reshuffle ini adalah pergantian Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi dari Satryo Soemantri Brodjonegoro ke Brian Yuliarto. Keputusan ini dinilai sebagai bagian dari upaya Prabowo untuk menegaskan otoritasnya terhadap resistensi birokrasi.
Satryo, yang dikenal memiliki hubungan erat dengan jaringan birokrasi lama, dinilai kurang responsif terhadap visi efisiensi dan reformasi yang dicanangkan oleh pemerintahan baru. Brian, sebagai penggantinya, dianggap lebih kompatibel dengan arah kebijakan Prabowo yang berfokus pada efisiensi dan digitalisasi birokrasi pendidikan tinggi.
Pergantian ini mencerminkan cara Prabowo membaca dinamika “raja kecil” dalam birokrasi dan menegaskan bahwa ia tidak akan ragu melakukan tindakan tegas terhadap pejabat yang dinilai menghambat kebijakan strategisnya.
Masa Depan Reformasi Birokrasi
Kebijakan efisiensi anggaran yang diusung Prabowo juga memiliki dampak signifikan terhadap sektor ekonomi. Pemangkasan anggaran perjalanan dinas luar negeri dan optimalisasi belanja pemerintah berpotensi menekan pengeluaran negara, yang pada akhirnya dapat mengurangi defisit fiskal.
Dalam teori ekonomi makro, pengelolaan anggaran yang efisien dapat meningkatkan stabilitas ekonomi jangka panjang. Namun, kebijakan ini juga perlu diimplementasikan dengan pertimbangan yang matang agar tidak berdampak negatif pada sektor-sektor tertentu.
Para ekonom menyoroti bahwa efisiensi anggaran harus diimbangi dengan peningkatan efektivitas belanja pemerintah. Pengurangan pengeluaran yang tidak tepat sasaran harus diikuti dengan kebijakan fiskal yang mendukung pertumbuhan ekonomi, seperti insentif bagi sektor riil dan investasi dalam pendidikan serta kesehatan.
Meskipun kebijakan efisiensi anggaran—salah satunya melalui kebijakan Makan Bergizi Gratis (MBG)—memiliki potensi manfaat besar bagi stabilitas fiskal, pemerintah perlu memastikan bahwa dampak negatifnya terhadap sektor ekonomi dapat diminimalkan.
Ke depan, efektivitas kebijakan efisiensi anggaran dan reformasi birokrasi akan sangat ditentukan oleh sejauh mana pemerintah mampu menindaklanjuti pernyataan Presiden Prabowo dengan aksi nyata.
Penguatan sistem meritokrasi, peningkatan kapasitas aparatur sipil negara (ASN), serta digitalisasi sistem birokrasi dapat menjadi solusi yang lebih konkret dalam mengatasi resistensi birokrasi. Tanpa strategi yang terukur, kritik terhadap “raja kecil” di birokrasi hanya akan menjadi narasi politik tanpa dampak nyata bagi tata kelola pemerintahan yang lebih baik.(***)
Penulis adalah Penikmat Komunikasi Politik dan Kebijakan Publik, Peneliti CIDES Institute
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post