Oleh: Amrin Lamena
Ketika banyak tempat di negeri ini harus berubah wujud menjadi tambang. Ada orang-orang yang berjuang agar hutan dan tanah mereka untuk tidak diganggu gugat. Memang benar adanya, beberapa orang berjuang bukan untuk meraih kemenangan, melainkan mempertahankan apa yang tersisa dari daerah mereka.
Apa kabar Buton Tengah? Dari wujud luar akhir-akhir ini menggembirakan, apalagi rangkaian semarak pascalebaran santer terdengar di berbagai penjuru di daerah ini. Belum lagi kemeriahan dunia politik yang sudah semakin bergema.
Bila menyaksikan tampilan iklan parah tokoh di berbagai sudut di daerah ini, blusukannya para tokoh, serta berbagai kegiatan lainnya untuk kontestasi Pemilu 2024 mendatang, sangat luar biasa!.
Buton Tengah tampil megah. Laksana perjuangan dari masyarakat sebagai bagian dari daerah yang bercita-cita menciptakan kedamaian, kesuburan, keadilan serta kesejahteraan sebagai tujuan pemekaran.
Itulah hebatnya demokrasi. Semua orang bebas bercita-cita, berangan-angan akan seperti ini dan itu, bahkan bebas menebar janji kemana-mana. Dan kini momen untuk menebar segala harapan dan janji-janji itu akan dimulai kembali. Tapi sudahkah terlaksana janji-janji lima tahun silam lalu? Atau tidak yang paling dekat saja dulu, janji semasa menjalani masa jabatan?
Pikiran saya kembali pada momentum sebulan lalu, beberapa hari sebelum bulan suci Ramadan 1444 Hijriah yang baru saja kita lalui. Tepatnya pada tanggal 20 Maret 2023. Gelombang aksi massa pecah. Ribuan masyarakat menuntut penolakan masuknya pertambangan batuan di Kecamatan Mawasangka Timur (Mastim).
Aksi demonstrasi ini sekaligus menjadi aksi massa terbesar sepanjang sejarah mekarnya Buton Tengah sebagai daerah otonomi yang diikuti oleh ribuan peserta aksi dari masyarakat Mawasangka Timur. Aksi massa dari masyarakat Kecamatan Mawasangka Timur ini berangkat dari keresahan akan masuknya pertambangan batuan di wilayah itu yang sedang dimohonkan oleh PT. Mineral Citra Sejahtera.
Ribuan masyarakat ini membawa beberapa tuntutan. Diantaranya, meminta Pemkab Buteng untuk tidak mengeluarkan izin prinsip penggunaan lahan. Kedua, Meminta Pemda dan DPRD Buteng membuat surat pernyataan penolakan masuknya pertambangan secara kelembagaan. Dan, Ketiga, meminta merevisi Perda Nomor 8 tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Buton Tengah yang telah menetapkan Kecamatan Mawasangka Timur sebagai kawasan pertambangan batuan.
Dari aksi demontrasi itu, masyarakat Mastim bisa sedikit lega, dua tuntutan di atas dipenuhi oleh Pemda maupun DPRD Buteng. Namun, tuntutan terakhir yakni untuk merevisi Perda RTRW ditangguhkan.
Di hadapan ribuan masyarakat Mastim, DPRD Buteng khususnya komisi III yang membidangi pertambangan berjanji akan mendorong revisi Perda RTRW tersebut, khususnya ‘pasal siluman’ yang telah menetapkan Kecamatan Mawasangka Timur sebagai kawasan pertambangan batuan.
Di hadapan masyarakat Mastim pula, DPRD Buteng berkomitmen akan segera menindaklanjuti tuntutan massa aksi, dengan memanggil Pemkab Buteng untuk membahas kembali Perda tersebut yang juga akan melibatkan perwakilan masyarakat, khususnya delapan orang kepala desa di Kecamatan Mawasangka Timur dalam waktu dekat.
Discussion about this post