3. Pasal 45:
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Bahwa ketentuan pasal-pasal diatas bukan sama sekali tanpa kritik sebab sejak awal diberlakukan tahun 2008 sampai perubahan terakhir di tahun 2016, UU ITE ini banyak dikeluhkan oleh masyarakat sebab dalam pelaksanaannya masih menimbulkan multitafsir dan kontroversi yang berujung pada kriminalisasi.
Oleh sebab itu, dalam perkembangan terakhir, pasal-pasal diatas tadi telah dilengkapi dengan pedoman implementasi berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika RI No. 229 Tahun 2021, Jaksa Agung RI No. 154 Tahun 2021, dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No. KB/2/VI/2021 tentang Pedoman Implementasi Atas Pasal Tertentu Dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE.
Menerapkan Budaya Filterisasi dalam Bersosial Media
Dalam tulisan saya yang berjudul “Di Balik Sosmed, Antara Berkah dan Musibah” yang dimuat hukumonline.com edisi 24 Juni 2019, tegas dikatakan bahwa di era digitalisasi, orang dapat dengan mudah menyebarkan informasi, namun informasi yang disebarkan justru tidak dapat dipertanggungjawabkan sumber, bertebarannya berita yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya alias hoax.
Terlebih, kadang berita tersebut dilengkapi dengan video dan photo yang juga sebenarnya bukan berasal dari berita yang diwartakan tersebut.
Dunia sosial media terus berubah dan berkembang, sehingga diperlukan sikap untuk menyaring berita yang diterima dan dibagi. Seyogyanya setiap individu dapat menyaring sendiri melalui identifikasi website yang menjadi sumber berita ataupun melihat secara seksama turunan informasi yang didapat.
Hal lain yang perlu disikapi ketika menghadapi sosial media, mesti lebih selektif dalam memberikan komentar ataupun respon terhadap suatu berita. Bahkan postingan seseorang. Yakni dengan menghindari penggunaan kata atau bahasa yang mengarah pada sikap yang terkesan membenci atau tidak suka.
Selain itu juga, perlu diperhatikan secara baik terhadap berbagai postingan status yang di unggah ke facebook, Instagram dan lainnya, sebab sangat mudah untuk dicopi ataupun di photo. Sehingga bukan tidak mungkin dijadikan bukti awal.
Namun akan lebih baik apabila diri sendiri yang memfilter diri dalam mengunggah postingan atau memberikan komentar atas suatu postingan.
Jika terjadi sesuatu hal akibat dari postingan di medsos milik sendiri serta adanya ketersinggungan terhadap individu tertentu, maka jauh lebih baik menempuh langkah mengajukan permohonan maaf.
Kemudian untuk prosedur mediasi atau perdamaian diantara para pihak ini, telah diatur dalam peraturan internal dimasing-masing institusi penegak hukum:
1. Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif;
2. Kejaksaan memberlakukan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif dan Surat Edaran Jaksa Agung Muda Pidana Umum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif;
3. Mahkamah Agung memberlakukan Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor: 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pedoman Penerapan Restorative Justice Di Lingkungan Peradilan Umum.
Namun, untuk terhadap postingan penistaan agama, ujaran kebencian atau fitnah dalam rangka menghasut, maka permintaan maaf dinilai tidaklah cukup. Seperti yang dikatakan sebelumnya diuraikan diatas, karena korbannya tak saja individu, melainkan agama, golongan, suku, dan negara.
Trend Pemanfaatan Cyber Troops, Upaya Mengimbangi Pemberitaan Negatif
Saat ini sudah mulai dikenal dengan adanya penggunaan Cyber Troops. Teknologi ini familiar tidak hanya di pemerintah, namun juga digunakan para publik figur, dll. Cyber Troops merupakan terobosan unit hubungan masyarakat (Humas) yang memang secara khusus diperuntukkan menangani atau mengawasi ruang virtual.
Selain itu, cyber troops ini dalam rangka meningkatkan dalam pencegahan penyebaran berita bohong atau yang tren disebut hoax tak bisa dipandang sebelah mata sebab terkadang turut berimbas pemberitaan negatif institusi pemerintah.
Pola bekerja dari Cyber Troops atau apapun nama dan bentuknya, secara sederhana yaitu menyaring adanya peredaran isu negatif menjadi hal yang positif.
Membantu proses penyebaran yang positif dalam upaya-upaya yang telah berhasil dicapai, serta melakukan counter issue dan klarifikasi terhadap hal-hal yang tidak benar.
Adapun dalam praktiknya adalah dalam bentuk banyak menyebarkan pemberitaan positif melalui kanal instagram, website, dan beragam media mainstream lainnya.
Pola bekerja seperti ini akan selalu otomatis memantau setiap perkembangan informasi terhadap berita hoax dan pemberitaan palsu. Bahkan dalam beberapa kasus, juga dimanfaatkan untuk mencegah maupun proteksi sebuah jaringan online pada rumah atau perkantoran dengan memonitor aktifitas online masing-masing.
Kedepannya, semua institusi pemerintah pusat maupun daerah bahkan untuk kepentingan pribadi akan membutuhkan Cyber Troops dikarenakan pada era informasi saat ini, kejahatan bisa berlangsung tanpa mengharuskan adanya hubungan fisik.(***)
Penulis: Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post