Hal tersebut tentu berbeda dengan Islam yang memberikan apresiasi yang tinggi terhadap mereka yang bekerja keras dalam rangka memenuhi kewajiban untuk menafkahi keluarga, terutama bagi seorang suami. Karena bekerja merupakan salah satu kewajiban yang mulia bagi manusia supaya dapat hidup layak dan terhormat.
Sebagaimana Rasulullah SAW. pernah menjabat tangan seorang buruh yang bengkak karena kerja keras, lalu menciumnya dan berkata: “Inilah tangan yang dicintai Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari).
Di samping itu, masalah buruh berkaitan dengan kontrak kerja, maka Islam telah menggariskan hukum-hukum kontrak kerja yang jelas. Menurut An-Nabhani (2012), dalam aqad kontrak kerja harus jelas jenis pekerjaan, masa/jangka waktu kerja, upah, dan tenaga (usaha) yang harus dicurahkan.
Lebih lanjut menurut An-Nabhani, besaran upah ditentukan berdasarkan kesepakatan dua pihak, buruh dan majikan pada saat akad berlangsung atau dapat juga ditentukan oleh para ahli/pakar. Upah dihitung berdasarkan besar kecilnya jasa (manfaat) yang diberikan oleh buruh, bukan pada kebutuhan hidup minimum.
Oleh karena itu, permasalahan yang kerap kali menimpa para buruh saat ini sulit teratasi, jika pihak pengusaha dan penguasa belum mampu memberi solusi yang tuntas terhadap persoalan tersebut.
Terlebih aturan yang diberlakukan masih jauh dari apa yang telah disyariatkan oleh-Nya. Karenanya hanya kembali pada aturan dari yang maha sempurna, persoalan saat ini akan segera teratasi, sebab yang lebih tahu mana yang terbaik untuk manusia, jelas yang bersumber dari pencipta manusia, yakni Allah SWT. Wallahu a’lam bi ash-shawab.(***)
Penulis: Freelance Writer
Jangan lewatkan video populer:
https://youtu.be/BXaiQPXT5E8
Discussion about this post