<strong>Oleh: Hendry Ch Bangun</strong> Tiga hari dalam pekan kedua Juni 2021 ini saya menghadiri tiga kegiatan yang terkait dengan pers dan media. Pertama dalam kegiatan rapat kerja Kementerian Kominfo, Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia, Komisi Informasi Publik dan Komisi I DPR RI. Wakil rakyat yang mulia ada mengeluhkan perilaku orang yang mengaku wartawan, membuat resah kepala sekolah, kepala desa, karena sibuk mencari-cari kesalahan mereka yang ujung-ujungnya adalah ingin perdamaian dengan bayaran tertentu. Lalu anggota DPR itu mengatakan, “Saya bilang tidak usah layani. Keroyok saja,” katanya. Lalu dia meminta agar Dewan Pers turun tangan untuk mendidik oknum-oknum tersebut. Komplain seperti ini bukan yang pertama dan juga pasti bukan yang terakhir. Dalam pertemuan itu saja, masih ada dua lagi yang menyampaikan hal senada. Penilaian negatif kerja wartawan pun beberapa kali dilontarkan, misalnya pemberitaan yang tendensius, tidak akurat, melanggar kode etik karena judul tidak sesuai peristiwa, sensasional, dst. Peristiwa kedua dalam National Assesment Council (NAC) Survei Indeks Kemerdekaan Pers 2021 yang melibatkan Informan Ahli dari 15 provinsi, nasional, dan Dewan Pers. Di sana terungkap bagaimana kondisi kesejahteraan wartawan di berbagai daerah di Indonesia, yang diperkirakan 75 persen tidak sesuai dengan Peraturan Dewan Pers, yaitu minimal setara dengan Upah Minimum Provinsi dan diterima minimal 13 kali dalam setahun. Keadaan ini dikaitkan dengan pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik, etika cenderung tidak lagi ditaati khususnya terkait dengan pemberian sesuatu dari narasumber. Dengan alasan “survival mode” menerima uang tidak dianggap masalah, malah banyak yang mengatakan, sudah menjadi ritual umum. Begitu pula media massa yang tidak berdaya ketika mendapat tekanan dari pemasang iklan karena merekalah sumber utama pemasukan karena perubahan mindset di audiens media dan masyarakat yang cenderung ingin informasi gratis. Kecuali pada media massa arus utama yang sudah terbukti reputasinya selama puluhan tahun. Buntut-buntutnya adalah timbul pertanyaan, apakah media massa pada umumnya masih melayani kepentingan publik atau melayani siapa yang memuaskannya. Entah itu korporasi, lembaga-lembaga tertentu, ataupun kepentingan kelompok. Tingkat kepercayaan publik terhadap media massa dalam survei Edelman 2021 menunjukkan, levelnya kini di tingkat Global pada skor 51, sementara untuk Indonesia 72, tertinggi di dunia. Tentu saja ini bergantung pada persepsi 300 responden Tanah Air yang disurvei, khususnya media yang dia nikmati sehari-hari. Tetapi yang pasti, wartawan dan media harus semakin memperbaiki diri karena sumber informasi utama masyarakat sudah menempatkan media sosial sebagai sumber utama, mengalahkan media massa. Meski kebenaran informasi yang didapatnya itu dia cek ulang ke media massa lagi untuk meyakinkan dirinya. Acara ketiga adalah Pelatihan dan Penyegaran Ahli Pers yang diadakan di Surakarta atau Solo, yang diikuti 30 orang dari Jawa, Sulawesi, Bali, Maluku, dan Papua. Dalam paparan narasumber terungkap bahwa semakin banyak kasus pers yang dipolisikan. Entah karena semakin sensitifnya masyarakat atas berita yang dia anggap merugikan nama baiknya, atau karena produk jurnalistik melanggar Kode Etik Jurnalistik khususnya opini menghakimi, itikad buruk, asas praduga tak bersalah, serta menyebarkan karya jurnalistik ke media sosial dan mencampurkan dengan opini. <strong>***</strong> Waktu berjalan, teknologi berkembang, kesadaran masyarakat meningkat, kepekaan golongan, kelompok semakin tinggi, dan media dalam posisi tidak menguntungkan karena tidak lagi menjadi sumber utama informasi. Semua ini menuntut sumber daya manusia (SDM) media yang tidak hanya cakap tetapi juga menyadari pasar yang dilayaninya. Bagaimana berharap karya jurnalistik di sebuah media cetak dibaca, apabila berita yang disajikannya tidak mampu menggugah, memancing rasa ingin tahu, tidak mampu menggelitik perasaan senang dan haru, membawanya bersemangat atau memenuhi rindu, jadi sekadar informasi yang sudah ada di media sosial atau disajikan beberapa menit setelah peristiwa? Bagaimana berharap karya jurnalistik di media siber akan dibaca karena informasinya seragam, susunan katanya tidak berbeda, sudut pandanganya senada, pilihan katanya itu-itu saja seperti telah disajikan media yang lain sebelumnya beberapa detik yang lalu? Tidak ada pengayaan, tidak tertunjukkan pengetahuan, pengalaman, kedalaman dan keluasan wawasan? Karya jurnalistik sering dikatakan sejatinya adalah karya intelektual, mencerminkan kecerdasan dan sosok jati diri si wartawan, sebagai akumulasi dari pergulatan dalam bidang yang dia tekuni. Bukan sekadar jajaran kata dan kalimat yang dibuat tanpa hati, tanpa visi, sekadar meneruskan press release, jumpa pers, atau kepentingan orang lain. Berita adalah pertemuan kepentingan publik dan olah rasa dan karsa seorang pekerja lapangan yang mengerti duduk persoalan sebuah peristiwa. Iya betul, profesi wartawan bukan sekadar pekerja. Untuk menghidupi keluarga, untuk membuat asap di dapur mengebul atau memenuhi sandang dan papan. Dia punya tugas mulia untuk memuliakan orang kecil. Dia menggugat ketidakadilan dengan menyuarakan aspirasi warga yang tersisihkan dari arus utama. Dia menyalurkan aspirasi mereka yang disusahkan. Dia memberi informasi mereka yang tidak tahu. Dia mendidik mereka yang tidak faham. Dia menginspirasi mereka yang ingin maju tetapi tidak mampu. Dia memberi wawasan mereka yang berpikiran sempit dan seperti katak dalam tempurung. Oleh karena itu tentu saja mereka haruslah terpelajar dalam arti kompeten akan profesinya. Memiliki kesadaran etika, menghayatinya, dan menjunjung tinggi etika itu dalam perbuatan dan produk jurnalistiknya. Tidak sekadar hafal tetapi tidak mempraktekkannya. Dia harus berpengetahuan luas, membaca apa saja khususnya yang terkait profesinya. Tanggap akan aturan dan ketentuan baru, mengikuti perkembangan, memahami isyu-isyu aktual yang ada di masyarakatnya. Tidak bosan bertanya dan mencari tahu agar sebagai “guru publik” dia tidak tersesat informasi. Dia juga harus terampil dalam menyajikan peristiwa yang akan dijadikannya karya jurnalistik, mengolah berbagai informasi dari kejadian maupun kepustakaan, dengan pilihan bahasa yang paling mewakili pikirannya agar tepat sasaran dan tidak menimbulkan persoalan. Agar beritanya enak dinikmati, menyentuh, mendudukkan persoalan sebagaimana mestinya. <strong>***</strong> Lalu apakah dengan semua kemampuan itu wartawan hidup sejahtera? Inilah tantangan berikutnya bagi mereka yang ingin menjadi wartawan sebagai profesi. Profesi wartawan menjadikan Anda berpeluang dihormati, iya. Menjadikan Anda dapat berdiri bersama Presiden, duduk bersama Menteri, berbincang dengan Gubernur, menelpon Jenderal, diundang ke luar negeri, itu betul. Tetapi menjadikan Anda sejahtera, belum tentu. Bahkan kemungkinannya kecil. Wartawan yang taat pada kode etik, menjaga martabat dan nama baiknya, setia pada jati diri profesinya, tidak akan pernah bisa kaya. Ya, hidup normal saja. Menyekolahkan anak ke perguruan tinggi swasta pun mungkin sulit. Membelikan anak HP terbaru pun mungkin tidak bisa. Karena paling dia dapat nafkah dari gaji, atau barangkali narasumber karena dianggap pakar atau spesialis, atau dari buku yang dia tulis. Tetapi kalau wartawan hanya dianggap cuma sebagai pekerjaan, bahkan untuk mencari relasi kepentingan bisnis, sebagai tangga untuk melompat menjadi kontraktor, agar mendapatkan informasi yang memberikan keuntungan. Atau untuk mendapatkan uang secara mudah setiap saat, bisa jadi Anda menjadi orang “kaya”. Tetapi yang jelas Anda tidak akan lagi bisa disebut sebagai wartawan. Cuma numpang nama saja.(<strong>***)</strong> <strong>Penulis adalah Wartawan Senior, Wakil Ketua Dewan Pers</strong> <strong>Jangan lewatkan video populer:</strong> https://youtu.be/FI3dwui9E4s
Discussion about this post