Oleh: Sutrisno Pangaribuan
Keputusan Maruarar Sirait (Ara) hengkang dari PDIP tidak mengejutkan. Pilihan tersebut sebagai tindakan ksatria, gentlemen atas sikap politik yang “berbeda” dengan PDIP. Keputusan Ara mengikuti langkah Jokowi adalah hak pribadi yang harus dihormati.
Langkah Ara menjadi menarik saat dilakukan bersamaan dengan momentum HUT ke-51 fusi Partai Katolik, Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo).
Penguasa Orde Baru mantan mertua Prabowo Subianto, Presiden RI kedua, H. M. Soeharto memaksa kelima partai tersebut melebur menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang lewat perjuangan para aktivis pro demokrasi, dengan darah, nyawa, dan airmata menjadi PDI Perjuangan.
Sabam Sirait, ayah dari Ara Sirait adalah salah tokoh sentral deklarasi fusi. Sabam Sirait merupakan Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP Parkindo saat deklarasi fusi, dan kemudian menjadi Sekjen pertama PDI. Maka karir politik Ara Sirait tidak pernah dapat dipisahkan dengan peran dan kontribusi Sabam kepada PDI. Ara mendapat “privilage” sebagai putra dari deklarator, hingga menjadi salah satu Ketua DPP PDI Perjuangan.
Ara pernah menikmati berbagai kemudahan sebagai “anak biologis” Sabam Sirait di PDIP, hingga akhirnya memiliki akses kepada Jokowi. PDIP menjadi tempat bertemu Ara dan Jokowi, dan menjadi tempat keduanya lahir, dan bertumbuh hingga menjadi politisi ulung. Namun jika akhirnya tidak lagi sejalan dengan rumah yang membesarkannya, maka langkah politik Ara mengikuti Jokowi, sudah tepat. Bagi PDIP itu biasa, seperti PDIP sebelumnya pernah ditinggalkan orang-orang besar.
Berbagai dinamika politik yang dihadapi PDIP saat ini harus dijadikan pelajaran untuk mengoreksi perjalanan sejarahnya. Memperingati HUT ke-51 PDIP adalah nemperingati deklarasi fusi kelima partai. PDIP itu bukan hanya kelanjutan dari PNI, namun kelanjutan dari PNI, Murba, IPKI, Parkindo, dan Partai Katolik.
Discussion about this post