Pada 1937, diperkirakan Solosche Radio Vereeneging menyiarkan musik gamelan secara langsung dari Solo untuk mengiringi Gusti Nurul (Putri Mangkunegoro VII) yang membawakan tari Bedhaya Srimpi di Istana Kerajaan Belanda di Den Haag, 7 Januari 1937.
Tiga belas tahun kemudian, pada 9 Februari 1946, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dibentuk di gedung ini. Kemudian, pada 9 Februari 1956, dalam acara perayaan 10 tahun PWI, wartawan-wartawan ternama seperti Rosihan Anwar, B.M. Diah dan S. Tahsin menyarankan pendirian yayasan yang akan menaungi Pers Nasional.
Yayasan itu diresmikan 22 Mei 1956 dan sebagian besar koleksinya disumbangkan oleh Soedarjo Tjokrosisworo. Baru 15 tahun kemudian yayasan ini berencana mendirikan fisik gedung. Rencana ini secara resmi diumumkan oleh Menteri Penerangan, Budiarjo, pada 9 Februari 1971.
Nama “Monumen Pers Nasional” ditetapkan 1973 dan lahannya disumbangkan ke pemerintah tahun 1977. Monumen Pers Nasional resmi dibuka 9 Februari 1978 oleh Presiden Soeharto.
Kepala Monumen Pers Nasional Widodo Hastjaryo menyatakan Monumen Pers Nasional (MPN) Kota Solo, Jawa Tengah saat ini telah mengalami revitalisasi sehingga menjadi lebih modern dengan teknologi-teknologi menarik perhatian para pengunjungnya.
Setelah lebih dari satu abad, kata Widodo, kini sudah waktunya MPN menjadi lebih modern. Membuat setiap informasi yang berkaitan dengan pers dapat dipahami oleh masyarakat luas. Karena pers di Indonesia merupakan salah satu pilar demokrasi yang sangat penting dalam jalannya suatu pemerintahan
Discussion about this post