<strong>Oleh: Rindhy</strong> Dampak kenaikan biaya haji yang ditetapkan pemerintah Arab Saudi sudah dirasakan para calon jemaah haji khusus dari Indonesia tahun ini. Beberapa hari sebelum berangkat, mereka harus sudah menyiapkan ongkos tambahan hingga puluhan juta rupiah. Lonjakan biaya itu akibat pemerintah Saudi menerapkan sistem paket akomodasi yang nilainya jauh lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya. Dikutip dari CNN Indonesia Pemerintah melalui Kementerian Agama mengusulkan kenaikan biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) yang harus dibayarkan oleh calon jemaah haji jadi sebesar Rp69 juta. Jumlah ini adalah 70 persen dari usulan rata-rata Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang mencapai Rp98.893.909,11. Sementara, 30 persen sisanya ditanggung oleh dana nilai manfaat sebesar Rp29,7 juta (20/1/2023). Kenaikan biaya ibadah haji yang kian melangit ini menimbulkan berbagai silang pendapat. Sebagian menilai ini sebagai sebuah kewajaran seiring meningkatnya pelayanan dan komersialisasi haji oleh pemerintah Arab Saudi. Akan tetapi, tidak sedikit pula yang berkomentar negatif. Di tengah keinginan kuat kaum muslim untuk menunaikan ibadah haji, menyeruak pertanyaan, ke mana dana umat? Hitung-hitungan tersebut berawal dari kian panjangnya antrean para jemaah haji yang telah terdaftar. Merujuk data Kemenag, jumlah pendaftar haji setiap tahunnya mencapai angka 5,5 juta. Jika dibagi dengan kuota normal per tahun sebanyak 221.000, terlihat bahwa masa tunggu haji rata-rata mencapai 25 tahun. Dalam rentang waktu ini, dana haji yang telah calon haji setorkan berada di bawah pengelolaan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Masalah mendasar dalam pengelolaan dana haji hingga penyelenggaraan haji saat ini terletak pada spirit bisnis. Spirit ini hadir di tengah tingginya hasrat umat Islam untuk menjalankan ibadah haji. Sebagai rukun Islam, sudah barang tentu kaum muslim berupaya semaksimal mungkin untuk menjalankannya. Sayang, lensa kapitalisme hadir, bahkan pada saat umat mengazamkan niat suci untuk mengunjungi Tanah Haram. Prinsip-prinsip pengelolaan dana haji pada akhirnya kental dengan spirit kapitalisme. Mengapa? Dana sebesar ini mana mungkin dibiarkan menganggur. Keinginan untuk menjalankan ibadah haji yang bertemu dengan naluri bisnis dalam sistem yang kapitalistik, ampuh menjadi bahan bakar dalam menjalankan prinsip-prinsip investasi. Inilah masalah mendasarnya. Menyoroti mahalnya biaya perjalanan haji ini, direktur Indonesia Justice Monitor Agung Wisnuwardana menyatakan, perlu menengok solusi Islam karena saat ini penyelenggaraan haji menggunakan pola kapitalisme sekularisme. “Perlu menengok solusi Islam dalam penyelenggaraan ibadah haji. Ini karena mahalnya biaya haji di Indonesia tidak terlepas dari sistem hidup atau ideologi yang diterapkan hari ini, yakni kapitalisme sekularisme,” ungkapnya dalam “Menag Yaqut Usul Biaya Haji 69 Juta. Anda Setuju?” di kanal Justice Monitor. Dampaknya, ia mengatakan, ini memengaruhi pola pikir dan pola sikap penguasa negeri-negeri muslim. “Asasnya adalah materi, standar kebahagiaannya adalah materi. Tak ayal, pelayanan publik acap kali dikomersilkan, seperti pendidikan, kesehatan, bahkan ibadah haji,” ucapnya ironis. Terlebih lagi, wewenang BPKH yang tertuang dalam UU 34/2014 menetapkan bahwa dalam pengelolaan keuangan haji, BPKH tidak hanya mengelola penerimaan dana haji, melainkan juga pengembangan, pengeluaran, dan pertanggungjawabannya. Dampaknya adalah hitung-hitungan untung-rugi dalam pengelolaan dana. Walhasil, naiknya biaya bukan semata karena kurs rupiah, tetapi juga konsekuensi dari spirit bisnis yang hadir dalam pengelolaan dana. Padahal, dalam Islam, prinsip-prinsip pengembangan harta sesungguhnya bersifat khas. Prinsip mendasarnya, seorang pemilik harta (shahibul maal) dapat mengembangkan hartanya melalui kerja sama dengan pengelola harta (mudarib). Dalam konteks investasi dana para jemaah, jelas tidak memenuhi prinsip pengembangan harta dalam Islam. Dengan sendirinya, maqashid syariah (terwujudnya manfaat bagi umat) dalam pengelolaan dana para jemaah justru kabur dan tidak sesuai konteksnya dalam pengelolaan dana haji. Oleh karenanya, penting menjadi catatan untuk memperhatikan prinsip syariat secara mendasar bahwa wajibnya haji adalah sekali seumur hidup. Di sisi lain, penting bagi pemerintah untuk melakukan edukasi bahwa ibadah haji berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat dan memiliki kemampuan. In Syaa Allah, dengan tata kelola yang baik, negara mampu memfasilitasi kerinduan setiap warganya untuk menjalankan ibadah haji. Mengenai tata kelola, termasuk biaya untuk menunaikan ibadah haji, biaya keberangkatan, biaya hidup, pelayanan selama menjalankan ibadah, hingga kembali ke tanah air, hendaknya sesuai biaya riil. Untuk itulah perlu untuk untuk memastikan kuota sesuai target per tahun. Bukan dengan membiarkan pendaftaran yang terus mengulur hingga waktu tunggu yang mencapai puluhan tahun. Dalam sistem pemerintahan Islam, negeri-negeri muslim adalah satu kesatuan. Tidak boleh ada komersialisasi penyelenggaraan haji oleh pihak mana pun sebab Tanah Haram adalah tanah seluruh kaum muslim. Di sinilah urgensi perjuangan mengembalikan sistem pemerintahan Islam (kekhalifahan Islam). Betapa besar perhatian dan pelayanan antara khalifah dalam khilafah kepada jemaah haji dari berbagai negara. Mereka dilayani sebaik-baiknya sebagai tamu-tamu Allah tanpa ada unsur bisnis. Hanya untuk melayani. Jauh dari konteks investasi atau mengambil keuntungan dari ibadah haji. Semua merupakan kewajiban yang harus dijalankan negara. Ada beberapa langkah yang dilakukan khalifah dalam melayani jemaah haji. Pertama, khalifah menunjuk pejabat khusus untuk memimpin dan mengelola pelaksanaan haji dengan sebaik-baiknya. Mereka dipilih dari orang-orang bertakwa dan cakap dalam memimpin. Kedua, jika negara harus menetapkan biaya penyelenggaraan haji, maka nilainya tentu akan disesuaikan dengan biaya yang dibutuhkan oleh para jamaah berdasarkan jarak wilayahnya dengan Tanah Haram (Makkah-Madinah), serta akomodasi yang dibutuhkan selama pergi dan kembali dari Tanah Suci. Ketiga, khalifah berhak mengatur kuota haji dan umrah. Dengan itu, keterbatasan tempat tidak menjadi kendala bagi para calon jamaah haji dan umrah. Dalam hal ini, Khalifah harus memperhatikan, kewajiban haji hanya berlaku sekali seumur hidup dan hanya berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat dan berkemampuan. Bagi calon jamaah yang belum pernah haji, sedangkan sudah memenuhi syarat dan berkemampuan, maka mereka akan diprioritaskan. Khilafah akan menyelenggarakan ibadah haji sesuai prinsip syariat, melakukan pelayanan maksimal kepada para jemaah, membangun infrastruktur, serta menyediakan berbagai fasilitas sebagai bentuk riayatusy syu’unil ummah. Prinsip syariat yang dijalankan oleh institusi pemerintahan Islam meniscayakan penyelenggaraan ibadah haji akan efisien dan berkah bagi seluruh kaum muslim. Wallahu A'lam.<strong>(***)</strong> <strong>Penulis: Aktivis Remaja Andoolo</strong> <strong>Jangan lewatkan video populer:</strong> https://youtu.be/btie5KHCnrM
Discussion about this post