Ada beberapa catatan yang hendak saya tekankan dari kasus tersebut. Yang utama adalah, penegak hukum kali ini harus benar-benar konsisten dalam melakukan penyelidikan secara menyeluruh. Karena, kasus (pelanggaran) pengusaha tambang di seluruh Indonesia khususnya di Sultra, problem dan karakteristiknya itu sama.
Jadi, begitu menyentuh satu perusahaan itu artinya terjadi juga di perusahaan lain, kecuali mereka yang memang taat pada aturan. Bagi yang tidak taat, dan kebanyakan justru yang tidak taat itu, pola dan modus operandinya pasti sama, karakteristik kegiatannya sama, objeknya sama, kerugiannya sama, kerugian lingkungannya sama, sasarannya juga sama (wilayah dan masyarakat). Yang membedakan hanya lokasinya.
Makanya saya minta, aparat hukum jangan tebang pilih. Mulailah dari hulu, yakni dari Kabupaten. Sekarang memang sudah diambil (pejabatnya) dari Provinsi, dan itu sudah bagus. Mengapa Kabupaten? Karena sentral penyelenggaraan administrasi perizinan tambang adalah Kabupaten. Baru pada tahun 2016-2017 ada perubahan Undang-Undang yang isinya adalah, kewenangan mengeluarkan IUP diserahkan ke Provinsi, sebelum akhirnya dialihkan ke Pusat lewat Undang-Undang Omnibus Law.
Dialihkannya kewenangan dari Kabupaten ke Provinsi, dimaksudkan untuk memudahkan dilakukannya evaluasi dan pengawasan. Namun pada praktiknya, para mafia hanya berpindah tangan saja dari Kabupaten ke Provinsi.
Dan sekarang, ketika kewenangan ada di tangan pusat, jangan sampai praktik mafia itu kemudian berpindah ke pusat juga. Semogalah pusat tidak menjadi “bandar baru” dari kerusakan yang selama ini terjadi di daerah.
Maka, agar pusat ibaratnya tidak menerima bingkisan yang bentuknya seperti kucing dalam karung (mengeong tapi tidak tahu bagaimana warna dan jenisnya), sebaiknya momentum kali ini menjadi kesempatan yang baik untuk mulai dilakukan pembenahan secara sistematis dan menyeluruh. Sambil proses hukum yang menjerat mantan Kepala Dinas ESDM Sultra berjalan, sekaligus lakukan juga pengetatan regulasi dengan tetap mengedepankan kemudahan pelayanan dan registrasi ulang.
Sebenarnya mereka pernah diberi kesempatan enam bulan untuk proses transisi (dari Kabupaten ke Provinsi). Namun kesempatan itu tidak digunakan dengan baik dan malah dijadikan kesempatan untuk (lagi-lagi) melakukan penyimpangan.
Buktinya, di lapangan banyak terjadi manipulasi dan permainan administrasi. Saat terjadi peralihan kewenangan dari Kabupaten ke Provinsi, sebenarnya lahan potensial tambang sudah tidak ada lagi. Perbandingan luas lahan terhadap luas potensi sudah sangat jauh (sudah terlalu banyak jumlah perizinan).
Cara-cara yang kerap digunakan oleh para mafia (tambang) memang sangat lihai. Izin-izin yang sudah mati yang sudah tidak ada pemiliknya dicari, dan pengusaha yang tidak memenuhi kewajiban yang izinnya dicabut dihidupkan kembali dan diambil oleh oknum. Selain itu, banyak juga yang melakukan kegiatan penambangan tanpa izin. Mereka menambang begitu saja dan persoalan administrasinya diselesaikan di lapangan.
Meski ada petugas pengawas tambang (pengawas struktural dan pengawas fungsional), tapi karena proses pendelegasian tugas kewenangan pengawasan dan controlling sudah tidak jelas dalam pelaksanaannya, akhirnya ya masing-masing malah adu kuat. Yang berjalan hanya pengawas-pengawas kelembagaan dari Kamtibmas (Polri dan TNI AL), Bea Cukai, Syahbandar, dan lain-lain. Jadi tidak lagi terintegrasi sebagai pengawas yang bertanggung jawab dalam bidang pengusahaan tambang.
Carut marut dan kekacauan seputar kegiatan dan perizinan pertambangan di Sultra saat ini sudah sangat mengkhawatirkan, dan berdampak luar biasa buruknya pada hampir seluruh komponen masyarakat di sana.
Penjarahan tambang semakin menghancurkan perekonomian dan tatanan sosial kemasyarakatan di Bumi Anoa. Di lain pihak upaya pemberantasan kejahatan yang dilakukan selama ini belum menunjukkan hasil yang optimal. Kejahatan (tambang) dalam berbagai lapisan tetap saja terjadi.
Jika kondisi ini tetap dibiarkan berlangsung maka cepat atau lambat kita akan bangkrut potensi nikelnya, dan pada akhirnya kita juga akan kehilangan daya saing industri strategis nasional. Situasi gawat itu harus dipandang sebagai kejahatan luar biasa. Oleh karena itu memerlukan upaya yang luar biasa pula untuk memberantasnya.
Dalam hal ini pemerintah harus tegas mengawasi dan memberikan sanksi kepada pelaku pelanggaran usaha pertambangan yang tidak melaksanakan kaidah-kaidah good mining practices dalam operasi penambangannya, karena mereka tak sebatas merugikan rakyat, bahkan negara.
Penegak hukum juga harus serius, tegas, dan tidak tebang pilih hingga perkaranya tuntas. Dan juga perlu adanya peningkatan pengawasan yang dilakukan oleh Tim Terpadu yang terdiri dari Kepolisian, Pemda, Kejaksaan, Kementerian Pertambangan, Kementerian Investasi, dan lain-lain, agar semua kejahatan yang terjadi bisa disudahi.
Saya tak sebatas cemas, tapi juga berdoa agar potensi nikel di Sultra yang kian hari kian terkuras dapat diselamatkan dan didayagunakan, untuk sebesar-besarnya kemakmuran bangsa Indonesia.(***)
Penulis: Gubernur Sulawesi Tenggara 2008-2013 dan 2013-2018
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post