Risiko Jabatan
Kematian Wakil Bupati Sangihe, Helmud Hontong pada Rabu (9/6/2021) yang menjadi pembicaraan hangat dan diberitakan oleh berbagai media membuat saya terusik dan lagi-lagi merenung lalu flashback.
Kematiannya yang mendadak di atas pesawat saat perjalanan pulang dari Bali menuju Manado via Makassar membuat masyarakat berspekulasi bahwa kematian laki-laki kelahiran 1962 itu tidak wajar, dan dikaitkan dengan sikapnya yang sangat tegas menolak keberadaan PT. Tambang Mas Sangihe yang beroperasi di Sangihe, Sulawesi Utara.
Polisi masih terus mengusut kematiannya. Namun, wajar atau tidak wajar kematian Wabup Sangihe, saya tahu betul bahwa memang ada bahaya besar yang mengintai di balik jabatan yang diemban oleh seorang pejabat daerah. Maka jangan heran kalau ada istilah yang berkembang di tengah masyarakat bahwa, ketika pejabat daerah berani menolak mafia maka taruhannya adalah nyawa atau penjara. Kecuali dia bersedia jadi bagian dari mafia.
Mari kita tengok lagi kasus yang masih menjadi pembicaraan hangat di kalangan masyarakat Sulawesi Tenggara yakni, ditetapkannya mantan Kepala Dinas ESDM Provinsi Sultra sebagai tersangka dalam kasus perizinan tambang PT. Toshida yang diduga merugikan Negara sebesar Rp.190 miliar.
Ada beberapa catatan yang hendak saya tekankan dari kasus tersebut. Yang utama adalah, penegak hukum kali ini harus benar-benar konsisten dalam melakukan penyelidikan secara menyeluruh. Karena, kasus (pelanggaran) pengusaha tambang di seluruh Indonesia khususnya di Sultra, problem dan karakteristiknya itu sama.
Jadi, begitu menyentuh satu perusahaan itu artinya terjadi juga di perusahaan lain, kecuali mereka yang memang taat pada aturan. Bagi yang tidak taat, dan kebanyakan justru yang tidak taat itu, pola dan modus operandinya pasti sama, karakteristik kegiatannya sama, objeknya sama, kerugiannya sama, kerugian lingkungannya sama, sasarannya juga sama (wilayah dan masyarakat). Yang membedakan hanya lokasinya.
Makanya saya minta, aparat hukum jangan tebang pilih. Mulailah dari hulu, yakni dari Kabupaten. Sekarang memang sudah diambil (pejabatnya) dari Provinsi, dan itu sudah bagus. Mengapa Kabupaten? Karena sentral penyelenggaraan administrasi perizinan tambang adalah Kabupaten. Baru pada tahun 2016-2017 ada perubahan Undang-Undang yang isinya adalah, kewenangan mengeluarkan IUP diserahkan ke Provinsi, sebelum akhirnya dialihkan ke Pusat lewat Undang-Undang Omnibus Law.
Dialihkannya kewenangan dari Kabupaten ke Provinsi, dimaksudkan untuk memudahkan dilakukannya evaluasi dan pengawasan. Namun pada praktiknya, para mafia hanya berpindah tangan saja dari Kabupaten ke Provinsi.
Dan sekarang, ketika kewenangan ada di tangan pusat, jangan sampai praktik mafia itu kemudian berpindah ke pusat juga. Semogalah pusat tidak menjadi “bandar baru” dari kerusakan yang selama ini terjadi di daerah.
Maka, agar pusat ibaratnya tidak menerima bingkisan yang bentuknya seperti kucing dalam karung (mengeong tapi tidak tahu bagaimana warna dan jenisnya), sebaiknya momentum kali ini menjadi kesempatan yang baik untuk mulai dilakukan pembenahan secara sistematis dan menyeluruh. Sambil proses hukum yang menjerat mantan Kepala Dinas ESDM Sultra berjalan, sekaligus lakukan juga pengetatan regulasi dengan tetap mengedepankan kemudahan pelayanan dan registrasi ulang.
Sebenarnya mereka pernah diberi kesempatan enam bulan untuk proses transisi (dari Kabupaten ke Provinsi). Namun kesempatan itu tidak digunakan dengan baik dan malah dijadikan kesempatan untuk (lagi-lagi) melakukan penyimpangan.
Discussion about this post