Oleh: M. Dahlan Abubakar
Ahad (25/9/2022) bilik media sosial “Wartawan Sulsel” menebarkan kabar duka.
“Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Berpulang ke rakhmatullah Sdr kita Usdar Nawari (Wakil Ketua Bidang Pembelaan Wartawan PWI Sulsel) di RS Hermina 10 menit lalu. Jenazahnya akan disemayamkan di rumah duka Jl. Lasuloro Dalam VI Blok IV Perumnas Antang Makassar. Semoga meninggal dalam khusnul khatimah,” pada pukul 12.49, rekan Andi Pasamangi Wawo mengirim berita duka pertama di WhatsApp kelompok wartawan Sulsel tersebut.
Saya terakhir bertemu Usdar Ahad, 18 September 2022 suatu sore, tepat seminggu silam saat berlangsung peluncuran buku novel “Surat Buat Maria” karya rekan Ramli S.Nawi di Kafe Baca Jl. Adyaksa Makassar.
Setelah mendengar namanya disebut, mata saya kemudian “jelalatan” mencari sosoknya. Retina saya tidak menangkap utuh wajahnya yang biasa saya lihat. Keheranan muncul di dalam hati saat acara usai dan berusaha mencari dia.
Saya menemukan wajah seorang yang seolah mata ini keliru bahwa dialah Usdar yang saya kenal selama ini. Wajahnya sangat pucat dan tampak kurus. Saya tidak berusaha menyapanya karena azan masjid menggema.
Ketika mendengar berita duka itu, saya menyesali diri sendiri tidak menyempatkan diri menyapanya. Usdar adalah seorang teman yang tidak pernah lekang dan terpengaruh oleh riak dan gelombang situasi dan kondisi dunia dan organisasi kewartawanan di Sulawesi Selatan yang selalu ‘suam’. Dia tetap teman yang tidak peduli dengan ‘konteks’.
Usdar yang saya kenal adalah seorang wartawan yang telah ikut memberi warna jagat jurnalisme di provinsi ini. Meskipun saya dikenalnya sebagai seorang yang vokal mengkritik organisasi profesi tempat dia menjadi Wakil Ketua Bidang Pembelaan Wartawan, relasi saya dengan dia sama sekali tidak terpengaruh.
Dia tahu menempatkan diri dalam kapasitas representasi pribadi dan membawa nama organisasi. Sesuatu yang pantas ditiru oleh siapa pun.
Menjadi wartawan bagi seorang Usdar yang lahir dan besar di kampung, tidak pernah terlintas sedikit pun di benaknya. Dia sama sekali tidak pernah mematok cita-cita. Dia bagaikan orang melangkah, ke arah mana kaki ini diayunkan. Profesi apa gerangan yang bakal dia geluti kelak, juga masih tanda tanya dalam diri anak pasangan Muh. Nawawi Patinrori-St Rosmani ini.
Ayahnya, seorang guru SD yang sederhana. Di samping menjadi kepala sekolah, Muh, Nawawi juga senang bercocok-tanam. Ya, begitulah posisi dan ‘profesi rangkap’ para tokoh guru di daerah pedesaan Sulawesi Selatan. Seperti juga ayah saya yang seorang guru di kampung halaman. Profesi guru tetap dilaksanakan sesuai jadwal dan menjadi petani di sela-sela usai jam mengajarnya.
Discussion about this post