Arga menjelaskan, selain mengupas sisi gelap kejadian G30S pada masa 1965 (baik dari sisi ekonomi hingga psikologis) dan sesudahnya, buku ini memberikan warna baru dalam upaya sang tokoh untuk bisa menghidupkan kembali kesenian ludruk yang sempat dilarang pasca-pemberontakan.
Pembentukan karakter yang konsisten dalam mencapai tujuannya, dari plot awal yang belum mengetahui kesenian ludruk hingga akhirnya bisa tampil untuk menyuarakan kebenaran dan kritik sosial atas kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat menjadi salah satu keunikan bagi buku ini.
Selain itu, perjalanan Roekiah mencari sang Ibu yang sulit dicari jejaknya
pasca-pemberontakan terjadi juga menjadi satu kelebihan tersendiri. Meski buku ini merupakan kisah fiktif, tapi ada satu kelompok tertentu pada masa itu yang memiliki kenangan kurang menyenangkan tentang bagaimana mereka kehilangan keluarga akibat gerakan pembantaian besar-besaran.
“Selama ini ada banyak stigma yang kurang lebih bernada ‘novel digital itu nggak berkualitas’. Di Cabaca hal tersebut nggak berlaku karena hampir semua yang diterbitkan diawali dengan sistem seleksi naskah dan terdapat proses editorial,” ungkap Fatimah Azzahrah, Co-Founder Cabaca.
Ia berharap, novel Roekiah 1965 yang penulisnya merupakan salah satu finalis Emerging Writers dalam Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) 2021 ini bisa memberi warna dan perspektif baru terkait isu PKI dalam dunia literasi. Novel ini juga diharapkan dapat menginspirasi penulis Indonesia untuk lebih berani menelaah sejarah bangsa sendiri.
Editor: Ridho Achmed
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post