<strong>Oleh: Sutrisno Pangaribuan</strong> Belakangan ini muncul reaksi berlebihan para elit PDIP, baik DPP maupun anggota DPR RI. Terutama pasca ditinggal kader "istimewa" putra Presiden Joko Widodo (Jokowi), maju sebagai bakal cawapres. Elit PDIP tiba-tiba menjadi "sadar kamera dan mikrofon", sebagai narasumber utama dari berita terkait manuver politik Jokowi dan keluarganya. Para elit PDIP membeberkan jasa politik kepada keluarga Jokowi. Mereka dengan wajah sedih curhat di depan kamera wartawan, namun hingga kini, PDIP sama sekali tidak berani memecat Gibran dan Bobby. Dalam menegakkan aturan partai, PDIP bertindak diskriminatif saat dengan tegas memecat orang biasa: Rustriningsih, Rudolf Pardede, Akhyar Nasution, Murad Ismail. Mereka semua dipecat hanya karena maju sebagai calon kepala daerah melawan calon PDIP. Sementara Murad Ismail dipecat, hanya karena istrinya maju sebagai caleg DPR RI dari partai lain. Tanpa tedeng aling-aling, tanpa keraguan, tanpa himbauan etis moral, mereka semua dipecat. Terbaru adalah reaksi elit PDIP, terkait penertiban sejumlah baliho Ganjar-Mahfud di Bali. Penertiban tersebut atas perintah Pj. Gubernur Bali kepada Kepala Satpol PP Bali Dewa Nyoman Rai Dharmadi. Berdasarkan perintah tersebut, Satpol PP Bali melakukan penertiban dengan alasan estetika. Satpol PP Bali mengklaim bahwa baliho dari semua Parpol dan Capres/Cawapres ditertibkan. Penertiban baliho tersebut dilakukan di lokasi kegiatan Presiden Jokowi. Penertiban baliho tersebut harus dilihat secara jernih, sehingga tidak perlu gaduh hanya karena baliho. Sebagai kader PDIP, pendukung Ganjar-Mahfud, kami menyampaikan pandangan dan sikap sebagai berikut: Pertama, bahwa urusan penertiban baliho Ganjar-Mahfud atas perintah Pj. Gubernur Bali sebaiknya diurus DPD PDIP Bali dan Anggota DPRD Bali. Terlalu besar energi yang dikeluarkan oleh DPP PDIP dan Anggota DPR RI untuk mengurusi baliho. Kedua, bahwa sebagai partai politik yang lahir di masa orde baru, PDIP seharusnya sudah matang menghadapi apapun, apalagi soal baliho diturunkan, itu perkara kecil. Maka elit PDIP tidak perlu reaktif. Ketiga, bahwa PDIP harus menjadi pelopor dari kampanye positif dengan mematuhi seluruh aturan pemasangan alat peraga dan bahan kampanye. Tidak perlu memasang alat peraga dan bahan kampanye di lokasi yang mengganggu kepentingan publik. Keempat, bahwa kemenangan dalam Pemilu tidak ditentukan oleh jumlah baliho dan reaksi terhadap baliho yang ditertibkan. Ganjar-Mahfud akan memenangi Pilpres, jika PDIP mampu meyakinkan rakyat bahwa Ganjar-Mahfud sebagai pasangan calon orang biasa, bukan anak, menantu, cucu presiden, bukan cucu pahlawan nasional. Hanya pasangan calon orang biasa yang mampu memahami kebutuhan dan kepentingan orang biasa. Kelima, bahwa Pj. Gubernur Bali tidak memiliki kewenangan menertibkan baliho di lokasi yang bukan kewenangannya. Pj. Gubernur Bali hanya dapat menertibkan baliho di jalan provinsi atau di lokasi yang merupakan kewenangan provinsi. Penertiban baliho menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Maka reaksi berlebihan Pj. Gubernur Bali sebagai respon atas arahan Presiden Jokowi untuk tidak miring akhirnya diekspresikan kepada baliho. Keenam, bahwa penertiban baliho Mahfud-Ganjar atas perintah Pj Gubernur melalui satuan polisi pamong praja dibantu aparat TNI dan Polri adalah bentuk arogansi. Tindakan tersebut sebagai bagian dari abuse of power. Pemerintah provinsi Bali tidak memiliki kewenangan penertiban baliho atau alat peraga kampanye lainnya. Jika Jokowi terganggu dengan baliho tersebut, maka Pj. Gubernur dapat memerintahkan Kasatpol PP Bali melakukan koordinasi dengan Pemkab. Gianyar untuk dikoordinasikan dengan PDIP, Tim Pemenangan Daerah, maupun relawan. Ketujuh, bahwa PDIP perlu marah untuk kebutuhan dan kepentingan rakyat seperti tingginya harga beras, maraknya peredaran narkoba, maraknya penyalahgunaan gas, pupuk, dan semua jenis subsidi. PDIP tidak perlu marah hanya karena baliho diturunkan. Kedelapan, bahwa aksi cari muka Pj. Gubernur kepada Jokowi menimbulkan kegaduhan politik, maka diminta kepada Presiden Joko Widodo segera mencopot Pj. Gubernur Bali. Bertindak diluar kewenangan dengan menggunakan alat negara adalah tindakan abuse of power. PDIP seharusnya tidak perlu marah karena baliho Ganjar-Mahfud ditertibkan. Namun PDIP perlu marah untuk setiap tindakan penguasa yang melakukan abuse of power. PDIP harus meyakini bahwa Ganjar-Mahfud pasti akan menang meski semua balihonya ditertibkan. Dari peristiwa penertiban baliho di Bali, PDIP dapat memperkenalkan tagar: #takutbalihoganjarmahfud #turunkanbalihoganjarmahfud #ganjarmahfudmenangtanpabaliho.(<strong>***)</strong> <strong>Penulis adalah Kader PDIP, Presidium GaMa Centre</strong> <strong>Jangan lewatkan video populer:</strong> https://youtu.be/4_p0iBZOTPQ?si=HrjOhy-FHeP8lWoi
Discussion about this post