Kedua, masuknya pemikiran dan budaya liberal. Pariwisata adalah cara paling efektif untuk mewarnai kehidupan masyarakat tujuan destinasi dengan pemikiran asing dan budaya dari luar. Kontak dan interaksi antara penduduk lokal dan turis asing menyebabkan perubahan sosial yang memengaruhi nilai-nilai yang dipegang masyarakat.
Ketiga, eksploitasi kawasan penduduk. Untuk mengembangkan suatu wilayah menjadi destinasi wisata, maka pasti butuh pemodal, siapa mereka? Tidak mungkin penduduk lokal, pemerintah pasti menggaet swasta atau investor. Alih fungsi lahan milik warga biasanya dilakukan demi perluasan wilayah destinasi. Sementara warga setempat yang tergusur cukup diberi kompensasi yang cukup.
Pada akhirnya, penduduk setempat cukup berpuas dengan menjadi buruh atau pekerja destinasi tersebut. Keuntungannya tetap mengalir pada pemilik modal.
Kapitalisme sungguh jauh berbeda dengan prinsip sistem Islam. Dalam Negara Islam pariwisata bukanlah sumber devisa negara. Sumber pemasukan negara berasal dari pos lain, seperti fai, kharaj, ganimah, jizyah, harta kepemilikan umum, zakat, dan sedekah. Adapun, objek wisata bertujuan sebagai sarana dakwah dan propaganda serta bisa berupa keindahan alam dan peninggalan bersejarah. Objek wisata ini bisa negara pertahankan sebagai sarana memahamkan Islam kepada wisatawan.
Disamping itu, objek wisata juga bisa digunakan untuk mengukuhkan keimanan dan keyakinan mereka kepada Allah, Islam, serta peradabannya. Siapa pun yang melihat akan takjub dan yakin dengan keagungan Islam. Bukan sebagai ladang bisnis yang menguntungkan.
Wallahu a’lam bisshowwab.(***)
Penulis merupakan Pegiat Literasi Kota Kendari
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post