Di tengah sulitnya kehidupan dan karut-marutnya kondisi ekonomi negara, alih-alih mencari solusi atau sekadar menahan diri dari hidup bermegah-megah, lembaga penyambung aspirasi rakyat ini justru menghambur-hamburkan uang rakyat hingga puluhan miliar untuk hal yang remeh-temeh, bahkan terkesan sekadar memenuhi nafsu dunia mereka. Pejabat negara seakan tidak peka, jika apa yang mereka lakukan sungguh menyakiti hati rakyat.
Sebaliknya, jika menyangkut hajat publik, orang-orang “hebat” ini tidak segan mencari cara agar anggaran yang dikeluarkan bisa seminimal mungkin. Bahkan, terkadang urusan rakyat yang urgen pun sering kali diabaikan atau dianggap tidak penting. Miris memang. Ya, begitulah tabiat demokrasi.
Sangat kontras dengan apa yang terjadi dalam sistem Islam. Dalam Islam, terdapat beberapa langkah yang ditempuh negara agar pejabat tidak berambisi pada harta dan jabatan. Pertama, mengaudit harta kekayaan pejabat secara berkala. Hal ini merupakan bentuk pengontrolan dan pengawasan agar para pejabat tidak menyalahgunakan kekuasaan dan jabatan.
Khalifah Umar bin Khaththab Ra. selalu mengaudit jumlah kekayaan pejabatnya, sebelum dan sesudah menjabat. Jika terdapat peningkatan kekayaan yang tidak wajar, mereka diminta membuktikan jika kekayaan itu bukan dari hasil korupsi atau hal harap lainnya.
Kedua, membina keimanan dan ketakwaan para pejabat. Hal ini dimaksudkan agar mereka memahami dan meyakini bahwa harta dan amanah yang diberikan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Sehingga, mereka tetap hidup sederhana meskipun kaya. Bahkan, mereka tidak segan menggunakan harta mereka untuk membantu rakyat, bukan sebaliknya.
Khalifah Umar juga selalu meminta para pejabatnya untuk tidak bergaya hidup mewah dan berlebih selama masih didapati banyak rakyat yang hidup kekurangan.
Khalifah Umar ingin memastikan bahwa para pejabatnya benar-benar merasakan susahnya hidup dalam kekurangan. Sebagaimana prinsip sang Khalifah, bagaimana ia bisa merasakan penderitaan rakyatnya jika ia sendiri tidak merasakan langsung dalam hidup sehari-hari.
Ketiga, pemberian gaji yang layak. Para pejabat akan digaji yang cukup, diberi tunjangan dan fasilitas yang mampu memenuhi kebutuhan mereka. Semua itu dimaksudkan untuk meminimalisir kecurangan dan penyalahgunaan jabatan.
Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah akan disediakan rumah, jika belum beristri hendaknya menikah, jika belum mempunyai pembantu hendaknya mengambil pelayan, jika tidak mempunyai hewan tunggangan (kendaraan) hendaknya diberi. Dan barang siapa mengambil selainnya, itulah kecurangan (ghalin).” (HR Abu Dawud)
Keempat, pengawasan dan kontrol masyarakat. Dalam struktur pemerintahan Islam, ada Majelis Umat yang bertugas melakukan koreksi dan memberi masukan pada Khalifah dan struktur di bawahnya.
Majelis Umat beranggotakan orang-orang yang dipercaya umat untuk menyampaikan pendapat, keluhan, kritik, dan saran pada penguasa. Mereka dipilih berdasarkan integritas dan kepercayaan, bukan pencitraan apalagi politik uang atau suap, sebagaimana yang dilakukan wakil rakyat dalam sistem demokrasi.
Demikianlah cara Islam mewujudkan pejabat dan wakil rakyat yang amanah dan pro kepentingan rakyat. Wallahu a’lam.(***)
Penulis: Pegiat Opini
Jangan lewatkan video populer:
https://youtu.be/BXaiQPXT5E8
Discussion about this post