Sementara, Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri mengingatkan agar KPA (kuasa pengguna anggaran) dan PPK (pejabat pembuat komitmen) pengadaan gorden memastikan proses tender berjalan sesuai prosedur, mengingat proyek pengadaan barang dan jasa kerap menjadi salah satu modus yang rentan terjadi korupsi (liputan6.com, 09/05/2022).
Proyek pengadaan gorden ini juga disinyalir terjadi mark up alias penggelembungan biaya, sebagaimana disampaikan politisi Partai Gerindra, Arif Poyuono, karena harga penawaran gorden terbilang sangat mahal.
Peneliti ICW, Wana Alamsyah mengatakan, dari dana yang dianggarkan DPR sebesar Rp48,7 miliar untuk 505 unit rumah, biaya gorden satu unit rumah diperkirakan seharga Rp80-90 juta. Sungguh fantastis, bukan?
Merindukan Pejabat dan Wakil Rakyat yang Amanah
Sungguh tak terbantahkan, masih ada pejabat dan elite dewan, seakan telah kehilangan sensitivitas dan empati pada masyarakat.
Di tengah sulitnya kehidupan dan karut-marutnya kondisi ekonomi negara, alih-alih mencari solusi atau sekadar menahan diri dari hidup bermegah-megah, lembaga penyambung aspirasi rakyat ini justru menghambur-hamburkan uang rakyat hingga puluhan miliar untuk hal yang remeh-temeh, bahkan terkesan sekadar memenuhi nafsu dunia mereka. Pejabat negara seakan tidak peka, jika apa yang mereka lakukan sungguh menyakiti hati rakyat.
Sebaliknya, jika menyangkut hajat publik, orang-orang “hebat” ini tidak segan mencari cara agar anggaran yang dikeluarkan bisa seminimal mungkin. Bahkan, terkadang urusan rakyat yang urgen pun sering kali diabaikan atau dianggap tidak penting. Miris memang. Ya, begitulah tabiat demokrasi.
Sangat kontras dengan apa yang terjadi dalam sistem Islam. Dalam Islam, terdapat beberapa langkah yang ditempuh negara agar pejabat tidak berambisi pada harta dan jabatan. Pertama, mengaudit harta kekayaan pejabat secara berkala. Hal ini merupakan bentuk pengontrolan dan pengawasan agar para pejabat tidak menyalahgunakan kekuasaan dan jabatan.
Khalifah Umar bin Khaththab Ra. selalu mengaudit jumlah kekayaan pejabatnya, sebelum dan sesudah menjabat. Jika terdapat peningkatan kekayaan yang tidak wajar, mereka diminta membuktikan jika kekayaan itu bukan dari hasil korupsi atau hal harap lainnya.
Kedua, membina keimanan dan ketakwaan para pejabat. Hal ini dimaksudkan agar mereka memahami dan meyakini bahwa harta dan amanah yang diberikan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Sehingga, mereka tetap hidup sederhana meskipun kaya. Bahkan, mereka tidak segan menggunakan harta mereka untuk membantu rakyat, bukan sebaliknya.
Discussion about this post