Dalam sistem ekonomi Islam dikenal tiga jenis kepemilikan: kepemilikan pribadi; kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Seluruh barang yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak dan masing-masing saling membutuhkan, dalam sistem ekonomi Islam, terkategori sebagai barang milik umum.
Benda-benda tersebut tampak dalam tiga hal: (1) yang merupakan fasilitas umum; (2) barang tambang yang tidak terbatas; (3) sumberdaya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki oleh individu. Kepemilikan umum ini dalam sistem ekonomi Islam wajib dikelola oleh negara dan haram diserahkan ke swasta atau privatisasi.
Dengan penguasaan dan pengelolaan SDA di tangan negara tidak hanya akan berkontribusi pada kemananan penyediaan komoditas primer untuk keperluan pertahanan dan perekonomian Khilafah, tetapi juga menjadi sumber pemasukan negara yang melimpah pada pos harta milik umum.
Karena itulah dalam sistem ekonomi Islam yang akan diterapkan oleh Khilafah, setiap warga Negara, baik Muslim maupun ahludz-dzimmah, akan mendapatkan jaminan untuk mendapatkan kebutuhan pokok barang seperti sandang, pangan dan papan; juga kebutuhan pokok dalam bentuk jasa seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan secara murah, bahkan bisa gratis.
Selain itu, negara juga memiliki pos pemasukan yang dikelola Baitul Mal. Pertama berasal dari zakat mal yang mencapai 2,5 persen dari penghasilan. Sumber pemasukan itu hanya dihimpun dari umat Muslim saja. Kedua, berasal dari jizyah yakni pajak perlindungan yang ditarik dari non Muslim yang tinggal di wilayah Muslim. Meski begitu, non-Muslim yang sakit, miskin, wanita, anak-anak, orangtua, pendeta serta biarawan dibebaskan dari jizyah.
Ketiga, bersumber dari ushr yakni pajak tanah yang khusus diberlakukan bagi perusahaan-perusahaan besar. Nilainya mencapai satu per sepuluh dari produksi. Keempat, berasal dari khiraj, yakni pajak tanah. Kelima, bersumber dari ghanimah, yakni satu per lima dari hasil rampasan perang. Keenam, fa’i yaitu semua harta yang dikuasai kaum muslim dari harta kaum kafir dari penaklukan tanpa peperangan atau kesulitan.
Kemudian jika negara mengalami defisit anggaran, di mana penerimaan negara lebih rendah dari pengeluaran negara, maka khalifah akan memberlakukan sistem pajak. Sistem pajak ini bersifat sementara hingga defisit anggaran dapat teratasi. Pajak pun diterapkan pada masyarakat yang kaya saja dan tidak dibebankan kepada masyarakat luas.
Begitupun, saat ketika negara mengalami kekosongan keuangan dikarenakan adanya pembiayaan jihad, industri militer, pemberian bantuan kepada orang fakir, miskin, dan ibnu sabil, pembiayaan gaji orang yang diupah negara seperti tentara, pegawai, hakim, dan guru.
Begitu pun, untuk membiayai kemaslahatan yang dibutuhkan seperti bencana, gempa bumi, longsor, dan banjir, yang ke semuanya itu menjadi tanggung jawab Baitul Mal, maka masyarakat yang kaya dapat membiayai Baitul Mal. Dengan begitu, kesulitan keuangan negara dapat cepat teratasi.
Inilah mekanisme pengaturan dalam sistem Islam. Mekanisme Baitul Mal terbukti mampu membawa kesejahteraan bagi rakyatnya, mampu mengelola keuangan dengan baik dan efisien. Mekanisme ini juga tidak mampu tertandingi oleh peradaban manapun.
Jika sistem ini diterapkan oleh negeri ini, maka bukan tidak mungkin jika negeri akan menjadi negeri adi daya, negeri yang kuat dan kaya, serta mampu mensejahterakan rakyatnya. Wallahu A’alam Bisshawab.(***)
Penulis: Pegiat Literasi
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post