Pertama, itu bukan punya saya. Kedua, kalau sandal sendiri itu sensasinya beda saat bertemu telapak kaki. Antara alas kaki dan tapak kaki seolah ada chemistri yang tak mungkin dipisah. Ada kesetiaan disana. Mau dia bulukan, jarang kena sabun dan sikat, penuh noda hitam, rasanya tetap enak dipakai. Namanya juga sandal pribadi…!
View this post on Instagram
Suatu hari saya mengalami satu dari tiga risiko itu. Antara kantor dan masjid jaraknya tak sampai sepeminum teh jika berjalan kaki. Di ruangan, kebetulan ada sandal jepit yang memang sering saya gunakan untuk bersuci. Itulah yang saya pakai ke masjid, yang jamaahnya lumayan padat persis padatnya jadwal main Liverpool nanti.
Saat bubar salat, saya kelimpungan. Sandal saya tak lagi di tempat awal. Padahal saya sudah berusaha meletakannya diantara beberapa alas kaki kulit yang dibawa jamaah lain. Entah karena sudah takdirnya, sandal saya itu mungkin dipakai orang lain berwudhu.
“Kenapa Pak?” seorang jamaah menegur saya, mungkin prihatin lihat wajah saya yang bengong plus belum makan siang.
“Saya cari sendalku Pak, kayaknya ada yang kasih pindah,” sembari tersenyum saya menjawab.
“Pakai saja yang ada pak, kalau swaloo, sama ji semua,” tukasnya, lalu berlalu.
Discussion about this post