<strong>Oleh: Sutrisno Pangaribuan</strong> Jika merujuk pada mundurnya Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia pada (21/5/1998), maka bangsa ini baru saja melewati 25 tahun usia reformasi. Adalah Budiman Sudjatmiko, salah seorang aktor yang dianggap berjasa. Budiman pernah ditangkap karena dianggap terlibat dalam peristiwa kelabu perebutan kantor DPP PDI (PDIP), pada (27/7/1997). Bersama sejumlah relawan, Budiman akhirnya dibebaskan oleh Gus Dur, Presiden keempat RI. Budiman sempat mendirikan PRD, dan ikut sebagai peserta Pemilu 1999. Namun PRD tidak berhasil tumbuh sebagai partai reformasi, nasibnya kalah jauh dibanding partai gurem lainnya seperti PBR, PBN, PBB yang sebagian hingga kini masih eksis ikut Pemilu. Gagal di PRD, Budiman pun berlabuh di PDIP, partai yang pernah dibela dan diperjuangkannya. Budiman pernah terpilih sebagai Anggota DPR periode 2014-2019. Kemudian tidak terpilih kembali di Pemilu 2019 karena alasan pemindahan daerah pemilihan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. <strong>Budiman Kalah Populer</strong> Sebagai politisi dengan latar belakang aktivis, popularitas Budiman kalah dibandingkan Adian Napitupulu, Fadli Zon, Fahri Hamzah, maupun Alm. Desmon Mahesa. Budiman lebih banyak mengurusi persoalan desa serta gagasan besarnya terkait bukit algoritma. Namun karena politik masih berkutat di seputar pembentukan opini melalui layar kaca maupun perangkat media lainnya, Budiman akhirnya kalah. Sebagai partai demokrasi, PDIP semakin eksklusif karena distorsi pemahaman elit partai. Para pengurus seakan menjadi pemilik partai, sementara anggota tidak diberi hak apapun. Sehingga tokoh sekelas Budiman saja tidak dianggap hanya karena Budiman bukan pengurus partai atau Anggota DPR. Sementara Adian, meski bukan pengurusan partai, namun karena masih Anggota DPR, dan berhasil menempatkan ratusan koleganya sebagai komisaris BUMN, masih tetap mendapat panggung. <strong>Manuver Politik Budiman</strong> PDIP sepertinya hati-hati merespons aksi politik Budiman, berbeda perlakuan seperti FX Rudyatmo, Gibran Rakabuming Raka, dan Effendi MS. Simbolon. Budiman tidak takut sama sekali atas ancaman dari PDIP, hingga pernah meminta agar tidak terlalu lama untuk dipanggil. Budiman yang rutin bertemu Jokowi sangat percaya diri dengan manuver politiknya meski berisiko diberi sanksi pemecatan oleh PDIP. Manuver politik Budiman mencapai puncak dengan deklarasi relawan Prabowo Budiman (Prabu) di Semarang, Jumat (18/8/2023). Budiman sengaja memilih momentum pasca HUT RI, dan memilih kota yang merupakan kandang Banteng. Budiman berani melakukan manuver politik sejauh itu pasti karena mendapat dukungan atau setidaknya restu dari Jokowi. Sehingga PDIP pasti akan hati-hati dalam memberi sanksi kepada Budiman yang sudah ditawari opsi mundur atau dipecat dari PDIP. <strong>Bargaining Politik Budiman</strong> Budiman pernah diberi kesempatan memimpin organisasi sayap PDIP, yakni Repdem. Namun tidak ada prestasi yang menonjol dari Budiman melalui Repdem. Tidak ada jejaring Budiman yang solid di PDIP, sehingga aksi yang paling mungkin adalah melakukan manuver politik keluar. Budiman beraksi on men show sehingga tidak memiliki pengikut, dan tidak memiliki barganing position di PDIP. Maka aksi merapat ke Prabowo sebagai pilihan frustrasi. Meski diberi opsi mundur atau dipecat oleh PDIP, Budiman pasti akan memilih opsi dipecat. Pilihan tersebut akan dijadikan Budiman sebagai amunisi untuk terus bermanuver. Sehingga meski PDIP merasa tidak rugi, namun Budiman akan untung jika hari ini dipecat oleh PDIP. Budiman pasti telah melakukan kalkulasi politik sebelum memilih manuver politiknya jelang Pemilu 2024. Sanksi yang diberikan oleh PDIP kepada Budiman akan menentukan arah barganing politik kedalam atau keluar PDIP. Sanksi PDIP terhadap Budiman akan menentukan sebesar apa Budiman kemarin, kini dan esok.(<strong>***)</strong> <strong>Penulis adalah Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas), Memiliki KTA PDIP</strong> <strong>Jangan lewatkan video populer:</strong> https://youtu.be/m3a3HVsH1_E
Discussion about this post