Karenanya, Indonesia, kemudian menjadi negara modern (17/18 Agustus 1945) bukanlah kerajaan Majapahit, Mataram maupun Belanda.
Bersamaan dengan perubahan mendasar (revolusioner) struktur politik dan sosial itu semua, tatanan negara demokrasi modern terbangun bersama dengan sebuah pengakuan universal tentang kedaulatan negara dan hak asasi manusia. Penguasa bukan lagi Raja, melainkan rakyat.
Aturan baru dibuat dan dilegitimasi melalui konstitusi: negara menjadi milik rakyat, bukan lagi Raja. Penguasa adalah rakyat, dan rakyat adalah penguasa.
Rakyat yang memiliki kekuasaan atau penguasa itu diberi status public rechtpersoon (badan hukum publik) bukan orang pribadi yang mempunyai kekuasaan seperti Raja-raja sebelumnya. Mereka disebut sebagai pejabat publik (personnya), dengan badan hukum publik (institusinya) yang diberi tugas mengurus urusan publik (public affair).
Karena pejabat publik bukan orang pribadi maka kinerjanya dalam mengurus urusan publik sangat sah untuk dikritik bahkan dicaci maki oleh rakyat yang menjadikan dia sebagai pejabat publik (baca: principal-agent).
Artinya, sebagai pejabat publik yang bukan orang pribadi dia tidak boleh marah apalagi memenjarakan rakyat yang mengkritik, atau mencaci maki atas kinerja publiknya. Kalau dia marah, tersinggung lalu lapor polisi apalagi berupaya memenjarakan rakyat yang menjadikan dia pejabat publik, itu artinya dia telah menjelmakan dirinya menjadi Dewa atau Raja Agung.
Pejabat jenis itu, selayaknya atau lebih pantas dimasukan ke dalam mesin waktu, untuk kembai ke zaman kerajaan di masa lampau.
Discussion about this post