Karena pejabat publik bukan orang pribadi maka kinerjanya dalam mengurus urusan publik sangat sah untuk dikritik bahkan dicaci maki oleh rakyat yang menjadikan dia sebagai pejabat publik (baca: principal-agent).
Artinya, sebagai pejabat publik yang bukan orang pribadi dia tidak boleh marah apalagi memenjarakan rakyat yang mengkritik, atau mencaci maki atas kinerja publiknya. Kalau dia marah, tersinggung lalu lapor polisi apalagi berupaya memenjarakan rakyat yang menjadikan dia pejabat publik, itu artinya dia telah menjelmakan dirinya menjadi Dewa atau Raja Agung.
Pejabat jenis itu, selayaknya atau lebih pantas dimasukan ke dalam mesin waktu, untuk kembai ke zaman kerajaan di masa lampau.
Kenapa demikian? Ya, karena pejabat publik itu adalah badan hukum publik milik rakyat yang sedang berkuasa, dan badan hukum publik itu adalah benda mati yang bersifat publik. Artinya, jika ada benda mati yang bisa tersinggung, itu aneh bin ajaib.
Dan lagi-lagi, jabatan publiknya itu adalah bukan miliknya secara person. Lebih aneh lagi, rakyat yang mengkritik disuruh berfikir solutif (itu kan tugas pejabat publik, kalau gak mampu ya jangan jadi pejabat publik).
Dari sisi hukum Administrasi Negara, tentu saja jika ada badan hukum publik yang dirugikan bisa dilakukan penuntutan tetapi itu menjadi ranah perdata, bukan pidana.
Sayangnya, sikap kritis publik terhadap badan hukum publik selama ini sering dimaknai secara personal, dan lebih parahnya lagi pejabat itu sering mengatasnamakan pribadi saat mengajukan upaya kriminalisasi dan pada saat yang sama masih memiliki jabatan publik, melekat status kepublikan atas dirinya yang dibayar atau digaji oleh Negara melalui keringat rakyatnya sendiri.(***)
Penulis: Dosen FISIP, Universitas Bandar Lampung
(*Ulasan kutipan pembelajaran singkat kuliah Administrasi Negara by Prof. Hanif Nurcholis)
Jangan lewatkan video populer:
https://youtu.be/VRMNu2xWe4A
Discussion about this post