Industri yang ikut berkembang pada masa pandemi covid-19 kuliner rumahan. Sementara restoran bertumbangan karena pembatasan sosial dan orang enggan keluar, industri kuliner rumahan menjamur. Pemesanan melalui online melonjak. Banyak yang sempat “cuti” dari pekerjaannya untuk membantu istri menangani pesanan kuliner (kini industri ini juga sebagian besar sudah tutup seiring tata sosial yang mulai normal).
Peradaban baru terjadi dalam proses pemakaman sebelumnya. Para penderita covid-19 dimakamkan di pemakaman khusus para penderita covid. Itu pun kalau meninggal di rumah sakit, jenazahnya harus dibawa langsung dari rumah sakit ke kuburan. Petinya pun masih dibungkus plastik pula.
Ketika di kubur, keluarga harus berada dalam jarak jauh dari liang lahat sehingga keluarga tidak dapat menyaksikan, apalagi masuk, ke rumah peristirahatan terakhirnya. Baju yang dipakai para pekerja untuk upacara pemakaman lantas dibakar. Maksudnya supaya tidak menularkan penyakit.
Keadaan tak berbeda terjadi pada salat subuh di masjid. Ketika masjid masih baru tutup, tak ada jemaah yang datang. Cuma pengurus masjid saja yang betugas di tempat ibadah itu. Ini berlangsung sekitar 1,5-2 tahunan. Masjid sejak subuh melompong.
Manakala pembatasan sosial mulai dikurangi, sedikit demi sedikit jemaah mulai datang lagi ke masjid, termasuk salat subuh di masjid. Jemaah sebagian besar datang masih memakai masker. Jarak antara jemaah juga sengaja direnggangkan.
Selama serangan covid-19, baik periode delta maupun omicron, terus terang saja hamba tidak ke masjid. Bukan hanya tidak salat subuh di masjid, tapi juga sama sekali tidak salat lainnya di masjid. Baik ketika covid-19 masih era delta maupun era omicron saya salat di rumah saja.
Kalau salat Jumat, hamba dan anggota keluarga membentuk jemaah sendiri di rumah. Belakangan sesudah ada pelonggaran pembatasan sosial, lantaran suara masjid sampai dengan jelas ke rumah dan masjid terlihat dari rumah, kami salat Jumat di rumah tapi mengikuti salat dari masjid. Dalam keadaan darurat, soal sah tidaknya salat semacam itu, kami serahkan kepada Sang Pencipta.
Sebelum pandemi covid-19 hadir, tak begitu banyak “ritual” untuk salat subuh. Sebaliknya setelah pelonggaran pembatasan sosial dan hamba ini mulai salat subuh di masjid lagi, proses sebelum dan sesudah salat subuh di masjid lebih “ruwet”.
Berangkat salat subuh di masjid awalnya masih selalu memakai baju lengan panjang. Tutup kepala yang sejauh mungkin menutup rambut sampai batas ke kuping. Ditambah lagi masker, sehingga yang terlihat dan terbuka cuma mata saja. Layaknya seperti ninja saja. Hehehe.
Tak ketinggalan, hamba membawa sajadah sendiri, biar lebih aman. Di masjid pun ketemu jemaah lain cuma mengangguk tanpa salaman. Selesai salat subuh langsung segera pulang. Di rumah seluruh pakaian langsung masuk cucian. Jadi, sekali pakai langsung cuci. Tak ada cerita pakaian yang sudah dipakai salat subuh di masjid masih disimpan untuk dipakai esok atau lusanya.
Di rumah pun, begitu sampai dan ganti baju, langsung disambung mandi. Mau tidur lagi, nyantai atau pergi, pulang salat subuh dari masjid “wajib” mandi. Kebiasaan di masjidpun agak berubah. Semula setelah salat subuh, jemaah dan imam serta sesama jemaah berbaris bersalaman-salaman, silahturahmi. Sejak covid-19 menyerbu, “tradisi” salam tersebut tak ada lagi.
Sedikit demi sedikit pandemi covid-19 mulai berkurang. Terjadi pula proses perubahan pada diri hamba pribadi dan juga di masjid. Baju tak lagi selalu lengan panjang. Masker pun sudah dilepas.
Discussion about this post