Oleh: Wina Armada Sukardi
Belajar Demokrasi
Bagi kaum muslim, salat subuh di masjid, tentu, pertama-tama dan yang utama, lantaran untuk menjalankan perintah Allah. Sebagai pembuktian kita benar-benar tunduk dan patuh kepada perintah Allah. Sebuah upaya untuk mencari keridhoan dari Sang Pencipta.
Di luar hal tersebut, salat subuh juga rupanya memberikan pelajaran lain kepada kita: esensi demokrasi. Salat subuh mengingatkan kita, dalam hidup, banyak warna. Plural. Jamak. Bukan warna tunggal. Dan kita diajari agar wajib menghargai perbedaan-perbedaan itu dengan ikhlas.
Islam pada hakekatnya, dimanapun dan kapanpun, cuma satu. Sumbernya sama: Alquran dan hadis. Semua harus berpegang dan berpedoman kepada Alquran dan hadis. Bukan yang lain. Kendati begitu, dalam pelaksanaannya, terdapat berbagai tafsir yang menyebabkan implementasinya juga dapat berbeda-beda.
Sepanjang tidak menyimpang dari kerangka inti ajaran agama Islam, perbedaan itu tentu bukan hal yang tabu. Bukan sesuatu yang perlu dihadapi dengan kebencian.
Setidaknya dalam pelaksanaan salat subuh perbedaan itu terlihat jelas. Dimulai dari perbedaan “klasik“ pelaksanaan salat subuh: qunut.
Sudah jamak dalam salat subuh, ada yang memakai qunut dan ada yang tidak memakainya. Do’a Qunut adalah sebuah amalan salat yang dibaca pada rakaat kedua saat salat subuh. Pada perbedaan soal ini, dapat terjadi jemaah yang berfaham tidak membaca qunut, salat subuh di masjid yang menerapkan qunut.
Dari pengamatan saya, ada dua sikap yang diperlihatkan oleh jemaah yang biasa tidak memakai qunut di masjid yang menerapkan qunut. Pertama, mereka lantaran toleransi dan menghormati jemaah di masjid itu, walaupun berfaham tidak membaca qunut, mereka ikut mengadahkan tangan dan mengikuti pembaca qunut.
Sedangkan yang kedua, karena berpandangan tidak membaca qunut merupakan bagian dari hak-hak masing-masing, mengambil sikap diam saja, dengan kedua tangan tetap di bawah. Setelah masuk sujud, mereka kembali bergabung.
Discussion about this post