Menurut pengamat sosial, Andi Tenri Mahmud, status sosial memang di masyarakat itu selalu masih ada semacam pemilahan. Status itu, kata Tenri, penjelasanya bersifat klasikal.
Dalam terminologi keilmuan status sosial itu menunjukkan identitas-identitas yang ditampilkan oleh seorang individu. Basisnya bisa berdasarkan pekerjaannya, bisa berdasarkan status kebangsawanannya dan lain-lain.
“Resistensi terhadap stigma sosial sudah mulai membuahkan hasil. Mereka yang dahulu dipandang rendah karena status sosial, tidak boleh menjadi penghalang dalam berpolitik,” kata Andi Tenri.
Menurutnya, keterkaitan status sosial di masa pemilu menjadi salah satu masalah yang sering dihadapi.
”Harusnya politik itu kan bersifat universal, apalagi demokrasi. Tapi inikan sulit juga, sulit sekali dipisahkan antara proses-proses politik, apalagi itu ke arah pragmatis dengan status sosial tertentu,” ucapnya.
Dalam beberapa kasus tertentu, kata Andi Tenri, paradigma status sosial masyarakat Lipu dan Katobengke sudah mulai terkikis.
“Pada masa kerajaan, status sosial seseorang sangat menentukan apakah ia boleh atau tidak boleh menduduki jabatan-jabatan tertentu. Tapi sekarang itu tidak dimungkinkan dan tidak dibolehkan lagi di masa demokrasi saat ini,” terangnya.
Dalam pengamatan Andi Tenri, selama kurun waktu 20 tahun terakhir, masyarakat Lipu dan Katobengke sudah mulai tampil bahkan sudah ada keterwakilan mereka menjadi anggota DPR.
Hal itu, kata Tenri, menandakan resistensi atau perlawanan wacana status sosial yang dihubungkan dengan politik demokrasi yang dikembangkan.
”Jika status sosial itu masih sering terbawa hingga saat ini, itu tidak bisa dan secara pribadi saya tantang itu. Tidak bisa anda menghalangi seseorang dengan status sosialnya. Itu kan logika yang tidak nyambung dengan demokrasi yang kita kembangkan,” tegasnya.
Discussion about this post