PENASULTRA.ID, TABANAN – Pemandangan alam yang memukau menjadi salah satu daya tarik wisata di Pulau Dewata, selain kekayaan tradisi dan budayanya. Bahkan, tak jarang pemandangan alam yang indah terbentuk berkat tradisi dan budaya yang dijaga sekian lama.
Salah satu yang menjadi perhatian dunia adalah pemandangan hamparan sawah bertingkat di dataran tinggi Bali. Seperti lahan berundak-undak seluas sekitar 300 hektare di Jatiluwih, Kabupaten Tabanan. Hamparan sawah yang ditanami padi, menghiasi sepanjang jalan.
Sawah di sana dipertahankan sudah sejak ratusan tahun dan tumbuh subur berkat bantuan sistem pengairan yang adil bagi seluruh petani. Sistem pengairan dikelola bersama melalui organisasi mereka yang dikenal dengan ‘subak’.
Subak Jatiluwih menjadi salah satu contoh sistem pengairan sawah yang khas di Pulau Dewata. Sejak ratusan tahun mereka memanfaatkan parit sebagai tempat penampungan air yang akan terus mengalir ke sawah-sawah mereka.
Pengelola daya tarik wisata Subak Jatiluwih, John K Purna, yang juga menekuni pertanian menjelaskan, para petani di wilayah tersebut sudah bergabung dalam kelompok secara turun-temurun.
Tidak diketahui sejak kapan masyarakat di Jatiluwih menggunakan sistem irigasi subak, lantaran secara berkelanjutan keturunan mereka sudah bergabung dan mendapat aliran air dari parit.
Saat ini, kelompok petani dibagi dalam tujuh tempekan yang dipimpin oleh ketua adat yang disebut Pekaseh. Satu kelompok rata-rata terdiri 35 petani, sehingga seluruh petani berjumlah 254 orang.
Budaya pertanian ini terus dipertahankan lantaran bekerja dengan landasan keadilan. Hal ini tercermin dari pembagian air yang merata bagi seluruh anggota.
Masyarakat juga bertahan dengan sistem gotong royong. Mereka memelihara parit dan merawat subak agar selalu bersih dan mampu mengairi air ke sawah-sawah.
“Leluhur kami dahulu tahu dimana sumber air. Jadi dari atas dibuat parit dibawa ke sawah. Jadi tergantung berapa besaran lahan yang mereka punya, sebanyak itu air yang diberikan Ini tradisi yang selalu kami pertahankan,” kata John dalam keterangannya, Sabtu 4 Mei 2024.
Di sejumlah titik kawasan Subak Jatiluwih terdapat tembuku atau tempat pembagian air. Dari tempat itu air akan masuk ke parit yang disemen, lalu mengalir satu per satu dari sawah paling atas ke hilir tanpa bantuan mesin apapun.
“Kalau sawah di luar Bali umumnya mengambil air sebisanya, ada air di bawah diangkat secara manual, sementara disini tidak boleh. Semua sumber air mengalir, tidak bisa tiba-tiba ambil air orang,” ucap John.
Penduduk meyakini, warisan budaya yang diakui UNESCO ini terus eksis berkat implementasi Tri Hita Karana yang terus diamalkan. Mereka tidak hanya menjaga keseimbangan dengan manusia, namun juga dengan alam, dan dengan Tuhan.
Discussion about this post