Misalnya, pasal 33 ayat 3 menjelaskan tentang “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Tetapi ayat ini ditafsirkan bahwa semua yang ada di negara ini baik darat, laut dan udara dan sumber dayanya semata-mata sudah menjadi milik pemerintah (negara). Padahal, secara harfiah “dikuasai” dan “dimiliki” itu beda.
Contoh lainnya dari tahafut (kerancuan) elite penguasa. Misalnya, sesuai dengan UUD 1945 menyebutkan tentang “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Tetapi dalam realitanya seakan-akan mereka (penguasa) tutup mata dan tidak tahu menahu dengan kondisi dan situasi yang terjadi di negeri ini.
Mereka para elite penguasa dalam hal ini adalah pemerintah melupakan tanggung jawab mereka dan membiarkan fakir miskin dan anak-anak yang terlantar begitu saja terhambur di berbagai daerah terutama daerah perkotaan yang kebanyakan tinggal di bawah kolom jembatan.
Bahkan kasus yang sering terjadi di negeri sampai belum terselesaikan saat ini adalah penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan para elit penguasa yang memanfaatkan kekuasaannya sebagai instrumen untuk mengambil hak orang lain demi kepentingan individu maupun golongan (korupsi) uang negara.
Tercatat sepanjang 2020 Ada 1.298 Terdakwa Kasus Korupsi, Kerugian Negara mencapai Rp 56,7 Triliun. JAKARTA, KOMPAS.com – Indonesia Corruption Watch (ICW). Mereka kebanyakan dari pemerintah desa, kabupaten/kota, provinsi, DPRD, BUMN, para menteri dan anggota legislatif (DPR).
Dari beberapa contoh di atas kita dapat membuka ruang pertanyaan. Apakah mereka (penguasa) paham dengan hasrat yang tertuang dalam UUD 1945? Atau merupakan unsur kesengajaan? Inilah beberapa contoh yang diangkat oleh penulis untuk sedikit menjelaskan tahafut (kerancuan) yang mereka timbulkan.
Anggaran Rp 500 Juta Ruang Isolasi Disorot, Ini Penjelasan Dirut RSUD Mubar https://t.co/7XY1p2Oh5E
— Penasultra.id (@penasultra_id) August 8, 2021
Pemerintah tidak akan dikatakan sebagai aktor politik masyarakat jika tidak ada rakyat di dalamnya. Rakyat yang termasuk masyarakat memiliki Hak Asasi Manusia (HAM), memiliki kebebasan dan kemerdekaan untuk berpendapat dimuka umum tanpa ada satu pun yang menghalanginya karena ada dalam ketentuan UUD 1945 sebagai acuan kita dalam bernegara.
Kritikan demi kritikan dilontarkan oleh masyarakat pada umumnya termasuk mahasiswanya yang turut serta berperan dalam menegakkan, melindungi negara sebagai mitra kritis pemerintah.
Jadi, terasa heran jika elite-elite penguasa itu sendiri yang membungkam kebebasan itu. Di Indonesia sendiri politik dijadikan sebagai alat utama untuk berkuasa sebaliknya hukum dijadikan sebagai aksiden untuk menjalankan subtansi politiknya.
Bukankah seorang penguasa atau para elit politik menjadi suri tauladan bagi masyarakat? Bukankah mereka (penguasa) seharusnya yang akan mensejahterakan kehidupan rakyat sebagaimana amanat UUD tahun 1945 dan yg tercantum dalam sila Pancasila mewujudkan “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Apakah ini hanya sebagai wacana semata atau tujuan dari Indonesia itu sendiri?
Pertanyaan fundamentalis dari penulis untuk pembaca dan masyarakat luas. Apakah saat ini di Indonesia sudah termasuk bagian dari apa yang penulis jelaskan yaitu bagian dari Machiavellian? Biarlah menjadi renungan kita bersama.
Memahami politik itu sendiri penting yang kemudian diimplementasikan dalam masyarakat bukan hanya sebuah retorika politik untuk membangun citranya tetapi bagaimana kesesuaian antara konsep dan tindakan.
Perlu ditegaskan kembali bahwa politik mempunyai peranan besar dalam sebuah sistem pemerintahan, jikalau politik itu dimanfaatkan sebagaimana tujuan dari politik yaitu untuk mensejahterakan rakyat dan sebagai instrumen kritikan bagi pemerintah.(***)
Penulis: Mahasiswa Ilmu Politik UHO dan kader HMI Cabang Kendari
Discussion about this post