Menurut seorang filsuf seperti Aristoteles sekaligus sebagai bapak politik dunia, politik adalah “Usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama”. Sedangkan menurut Rod Hague politik adalah “Kegiatan bagaimana usaha untuk mencapai keputusan-keputusan dalam mendamaikan perbedaan-perbedaan diantara anggota-anggotanya”.
Jadi, politik itu suci yang mengajarkan kebaikan, pemerintahan yang sejahtera bagi para elit politik dalam mengemban sebuah amanah dalam masyarakat bukan malah sebaliknya yang justru mereka (penguasa)menjadi musuh-musuh rakyat.
Sebuah kesesatan dan kekeliruan jika para elit politik berpandangan bahwa politik itu semata-mata hanya siapa yang menjadi penguasa dan siapa yang akan dikuasai, siapa yang mengatur dan siapa yang akan diatur dalam menjalankan sistem pemerintahan sesuai dengan apa doktrin dari ajaran Machiavellian (Akulah pemimpin dan kalian harus tunduk dan patuh pada perintahku).
Kembali ke topik pembahasan di awal tadi tentang tahafut elit politik. Disini penulis lebih memfokuskan perhatian pada subsistem pemerintahan yang ada saat ini di Indonesia. Dan mengapa judul yang diangkat menggunakan kata tahafut, elit dan politik?
Tema yang diangkat tahafut elit politik, bukan hanya sekedar identitas melainkan sebuah titik sentral. Dalam penjelasan tahafut (Arab) diartikan sebagai kerancuan. Sebagaimana sudah dijelaskan di awal tadi elit itu apa, politik itu apa maka dapat kita padukan bahwa penulis disini bertujuan menjelaskan kerancuan akan kesesatan para pemangku kekuasaan dalam roda pemerintahan.
Misalnya, pasal 33 ayat 3 menjelaskan tentang “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Tetapi ayat ini ditafsirkan bahwa semua yang ada di negara ini baik darat, laut dan udara dan sumber dayanya semata-mata sudah menjadi milik pemerintah (negara). Padahal, secara harfiah “dikuasai” dan “dimiliki” itu beda.
Contoh lainnya dari tahafut (kerancuan) elite penguasa. Misalnya, sesuai dengan UUD 1945 menyebutkan tentang “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Tetapi dalam realitanya seakan-akan mereka (penguasa) tutup mata dan tidak tahu menahu dengan kondisi dan situasi yang terjadi di negeri ini.
Mereka para elite penguasa dalam hal ini adalah pemerintah melupakan tanggung jawab mereka dan membiarkan fakir miskin dan anak-anak yang terlantar begitu saja terhambur di berbagai daerah terutama daerah perkotaan yang kebanyakan tinggal di bawah kolom jembatan.
Bahkan kasus yang sering terjadi di negeri sampai belum terselesaikan saat ini adalah penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan para elit penguasa yang memanfaatkan kekuasaannya sebagai instrumen untuk mengambil hak orang lain demi kepentingan individu maupun golongan (korupsi) uang negara.
Discussion about this post