<strong>Oleh: Muhamad Iman</strong> Semua orang pada dasarnya ingin menjadi penguasa dan tidak ingin dikuasai. Oleh karena itu, kebanyakan orang dalam kehidupan selalu menggunakan politiknya. Baik itu politik yang mengarahkan pada keseimbangan ataupun menjerumuskan dalam kesesatan. Dalam sejarah perpolitikan yang ada kaum elite selalu menjadi para penguasa orang-orang tertindas yang mempunyai kemampuan untuk memonopoli dan mengendalikan proses berjalannya sebuah sistem pemerintahan yang ada di suatu negara. Tak kita sadari hal-hal seperti ini yang dianggap remeh kini kian menjadi masalah yang serius dalam masyarakat. Bukan mengapa, karena ketika para elit yang berideologikan Machiavellian menjadi seorang pemimpin dalam sebuah kekuasaan, yang menjadikan ideologinya sebagai acuan dalam bertindak maka tak diragukan lagi huru-hara akan terjadi dimana-mana, rakyat akan menderita, dekadensi moral dan esensi politik itu sendiri akan sirna akibat keffalacian. Pertanyaan yang timbul di benak kita siapa itu Machiavelli? Mengapa ideologinya diterapkan bisa menjadi sebuah masalah? Dan apa sebenarnya politik itu? Bukankah politik pada dasarnya memang sesuatu yang harus menjadi alat dalam perebutan kekuasaan? Pertama kita akan menjawab siapa itu Machiavelli sebenarnya? Machiavelli adalah penulis buku yang berjudul ll Principe yang merupakan sebuah risalat politik dan teoretikus politik Firenze Niccolo Machiavelli. Aslinya berjudul De Principatibus, di buku itu mendoktrin bagaimana seorang penguasa dalam menjalankan kekuasaan harus licik, melakukan banyak tipu muslihat demi mendapatkan kekuasaan dan untuk mempertahankan sebuah kekuasaan menggunakan metode militeristik dan perlunya sebuah kekejaman. Untuk mengetahui lebih detail Machiavelli dan isi buku karangannya maka penulis menyarankan untuk membacanya dan merupakan topik pembahasan yang tersendiri. Beberapa tokoh yang menerapkan ajaran dari Machiavelli pemimpin bangsa seperti Hitler ataupun Napoleon yang terkenal akan kediktatorannya. Dan menurut hemat penulis tokoh presiden Soeharto juga pun terkenal akan kediktatorannya untuk mempertahankan sebuah kekuasaan menggunakan metode militer itulah salah satu doktrin dari ajarannya. Selanjutnya apa itu politik? Definisi politik itu sendiri ada berbagai sudut pandang, baik dari para filsuf Yunani kuno maupun para ahli. Menurut seorang filsuf seperti Aristoteles sekaligus sebagai bapak politik dunia, politik adalah “Usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama”. Sedangkan menurut Rod Hague politik adalah “Kegiatan bagaimana usaha untuk mencapai keputusan-keputusan dalam mendamaikan perbedaan-perbedaan diantara anggota-anggotanya”. Jadi, politik itu suci yang mengajarkan kebaikan, pemerintahan yang sejahtera bagi para elit politik dalam mengemban sebuah amanah dalam masyarakat bukan malah sebaliknya yang justru mereka (penguasa)menjadi musuh-musuh rakyat. Sebuah kesesatan dan kekeliruan jika para elit politik berpandangan bahwa politik itu semata-mata hanya siapa yang menjadi penguasa dan siapa yang akan dikuasai, siapa yang mengatur dan siapa yang akan diatur dalam menjalankan sistem pemerintahan sesuai dengan apa doktrin dari ajaran Machiavellian (Akulah pemimpin dan kalian harus tunduk dan patuh pada perintahku). Kembali ke topik pembahasan di awal tadi tentang tahafut elit politik. Disini penulis lebih memfokuskan perhatian pada subsistem pemerintahan yang ada saat ini di Indonesia. Dan mengapa judul yang diangkat menggunakan kata tahafut, elit dan politik? Tema yang diangkat tahafut elit politik, bukan hanya sekedar identitas melainkan sebuah titik sentral. Dalam penjelasan tahafut (Arab) diartikan sebagai kerancuan. Sebagaimana sudah dijelaskan di awal tadi elit itu apa, politik itu apa maka dapat kita padukan bahwa penulis disini bertujuan menjelaskan kerancuan akan kesesatan para pemangku kekuasaan dalam roda pemerintahan. Misalnya, pasal 33 ayat 3 menjelaskan tentang “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Tetapi ayat ini ditafsirkan bahwa semua yang ada di negara ini baik darat, laut dan udara dan sumber dayanya semata-mata sudah menjadi milik pemerintah (negara). Padahal, secara harfiah “dikuasai” dan “dimiliki” itu beda. Contoh lainnya dari tahafut (kerancuan) elite penguasa. Misalnya, sesuai dengan UUD 1945 menyebutkan tentang “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Tetapi dalam realitanya seakan-akan mereka (penguasa) tutup mata dan tidak tahu menahu dengan kondisi dan situasi yang terjadi di negeri ini. Mereka para elite penguasa dalam hal ini adalah pemerintah melupakan tanggung jawab mereka dan membiarkan fakir miskin dan anak-anak yang terlantar begitu saja terhambur di berbagai daerah terutama daerah perkotaan yang kebanyakan tinggal di bawah kolom jembatan. Bahkan kasus yang sering terjadi di negeri sampai belum terselesaikan saat ini adalah penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan para elit penguasa yang memanfaatkan kekuasaannya sebagai instrumen untuk mengambil hak orang lain demi kepentingan individu maupun golongan (korupsi) uang negara. Tercatat sepanjang 2020 Ada 1.298 Terdakwa Kasus Korupsi, Kerugian Negara mencapai Rp 56,7 Triliun. JAKARTA, KOMPAS.com – Indonesia Corruption Watch (ICW). Mereka kebanyakan dari pemerintah desa, kabupaten/kota, provinsi, DPRD, BUMN, para menteri dan anggota legislatif (DPR). Dari beberapa contoh di atas kita dapat membuka ruang pertanyaan. Apakah mereka (penguasa) paham dengan hasrat yang tertuang dalam UUD 1945? Atau merupakan unsur kesengajaan? Inilah beberapa contoh yang diangkat oleh penulis untuk sedikit menjelaskan tahafut (kerancuan) yang mereka timbulkan. <blockquote class="twitter-tweet"> <p dir="ltr" lang="in">Anggaran Rp 500 Juta Ruang Isolasi Disorot, Ini Penjelasan Dirut RSUD Mubar <a href="https://t.co/7XY1p2Oh5E">https://t.co/7XY1p2Oh5E</a></p> — Penasultra.id (@penasultra_id) <a href="https://twitter.com/penasultra_id/status/1424362176429666304?ref_src=twsrc%5Etfw">August 8, 2021</a></blockquote> <script async src="https://platform.twitter.com/widgets.js" charset="utf-8"></script> Pemerintah tidak akan dikatakan sebagai aktor politik masyarakat jika tidak ada rakyat di dalamnya. Rakyat yang termasuk masyarakat memiliki Hak Asasi Manusia (HAM), memiliki kebebasan dan kemerdekaan untuk berpendapat dimuka umum tanpa ada satu pun yang menghalanginya karena ada dalam ketentuan UUD 1945 sebagai acuan kita dalam bernegara. Kritikan demi kritikan dilontarkan oleh masyarakat pada umumnya termasuk mahasiswanya yang turut serta berperan dalam menegakkan, melindungi negara sebagai mitra kritis pemerintah. Jadi, terasa heran jika elite-elite penguasa itu sendiri yang membungkam kebebasan itu. Di Indonesia sendiri politik dijadikan sebagai alat utama untuk berkuasa sebaliknya hukum dijadikan sebagai aksiden untuk menjalankan subtansi politiknya. Bukankah seorang penguasa atau para elit politik menjadi suri tauladan bagi masyarakat? Bukankah mereka (penguasa) seharusnya yang akan mensejahterakan kehidupan rakyat sebagaimana amanat UUD tahun 1945 dan yg tercantum dalam sila Pancasila mewujudkan “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Apakah ini hanya sebagai wacana semata atau tujuan dari Indonesia itu sendiri? Pertanyaan fundamentalis dari penulis untuk pembaca dan masyarakat luas. Apakah saat ini di Indonesia sudah termasuk bagian dari apa yang penulis jelaskan yaitu bagian dari Machiavellian? Biarlah menjadi renungan kita bersama. Memahami politik itu sendiri penting yang kemudian diimplementasikan dalam masyarakat bukan hanya sebuah retorika politik untuk membangun citranya tetapi bagaimana kesesuaian antara konsep dan tindakan. Perlu ditegaskan kembali bahwa politik mempunyai peranan besar dalam sebuah sistem pemerintahan, jikalau politik itu dimanfaatkan sebagaimana tujuan dari politik yaitu untuk mensejahterakan rakyat dan sebagai instrumen kritikan bagi pemerintah.(<strong>***)</strong> <strong>Penulis: Mahasiswa Ilmu Politik UHO dan kader HMI Cabang Kendari</strong>
Discussion about this post