Oleh: Fadil Maman
Tes Kemampuan Akademik (TKA) hadir sebagai bentuk transformasi dalam sistem evaluasi pembelajaran yang lebih adil dan terukur. Secara yuridis, pelaksanaan TKA sejalan dengan amanat Pasal 57 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menggariskan pentingnya sistem penilaian berbasis standar nasional.
Secara filosofis dan sosiologis, TKA lahir dari kebutuhan membangun sistem evaluasi yang lebih objektif dalam mengukur kemampuan akademik siswa secara merata.
Selama ini, sistem seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya banyak bergantung pada nilai rapor sekolah, yang sayangnya tidak dapat dibandingkan secara adil antar satuan pendidikan. Misalnya, nilai 90 di sekolah A belum tentu setara dengan nilai 90 di sekolah B.
Ketimpangan ini menimbulkan tantangan besar bagi perguruan tinggi atau institusi lanjutan dalam menyeleksi peserta didik berdasarkan capaian akademik. TKA menjawab tantangan ini dengan menyediakan instrumen tes yang dikembangkan secara nasional, sehingga hasilnya bisa menjadi indikator objektif atas capaian belajar siswa.
Data BPS 2024 menunjukkan bahwa dari total 3,4 juta siswa tingkat akhir di SMA/SMK, hanya 27,6% yang berasal dari sekolah dengan akreditasi A. Ini menunjukkan bahwa mayoritas peserta didik berasal dari latar pendidikan yang beragam, dan dengan TKA, pemerataan peluang seleksi bisa ditingkatkan.
Kolaborasi Lintas Sektor untuk Pendidikan Bermutu
Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat, daerah, dan seluruh pemangku kepentingan. Oleh karena itu, TKA tidak bisa dilepaskan dari pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam perancangannya.
Untuk jenjang SD dan SMP, misalnya, Kementerian Pendidikan bekerja sama dengan pemerintah daerah dalam penyusunan soal TKA. Hal ini bukan hanya soal teknis pembuatan soal, tapi tentang peningkatan kapasitas daerah dalam mengelola evaluasi pendidikan yang bermutu.
Keterlibatan daerah ini berfungsi memperkuat rasa kepemilikan terhadap kebijakan pendidikan. Dalam era desentralisasi, program yang hanya digerakkan pusat sering menemui resistensi di level implementasi.
Namun dengan model kolaboratif ini, TKA tidak lagi menjadi kebijakan yang “datang dari atas”, tetapi hasil gotong royong antara pusat dan daerah. Ini juga menjamin bahwa instrumen evaluasi yang dihasilkan lebih inklusif dan mempertimbangkan konteks lokal.
Menurut data Kemendikbudristek 2023, hanya 41,2% dari kabupaten/kota di Indonesia yang memiliki unit khusus evaluasi pendidikan di dinas pendidikan daerahnya. Dengan adanya keterlibatan dalam penyusunan TKA, daerah yang semula tidak memiliki kapasitas evaluatif kini memiliki kesempatan untuk tumbuh dan berkontribusi. (Kemendikbudristek, 2023).
TKA juga mendukung penguatan kualitas ujian sekolah. Karena tidak menentukan kelulusan, peran guru tetap menjadi yang utama dalam mengevaluasi siswa. Namun, hasil TKA yang dapat dibandingkan antar individu dan sekolah, akan menjadi cermin objektif mutu internal sekolah.
Sekolah dengan integritas evaluasi tinggi akan menunjukkan korelasi yang kuat antara nilai ujian internal dan hasil TKA. Sementara kesenjangan besar antara keduanya akan menjadi alarm perbaikan sistem pembelajaran di sekolah tersebut.
Program Strategis dan Partisipasi untuk Pendidikan Inklusif
Kehadiran TKA tidak berdiri sendiri, melainkan bagian dari ekosistem kebijakan strategis pendidikan nasional. Dalam empat tahun terakhir, sistem evaluasi kita telah mengadopsi pendekatan berlapis: Asesmen Nasional untuk memotret sistem secara makro dan penilaian harian oleh guru di tingkat mikro.
Discussion about this post