Kelima, Pasal 27 perubahan rumusan substansi tentang kewajiban kepala desa dalam melaksanakan tugas kewenangan hak dan kewajibannya. Keenam, Pasal 33 menambah substansi syarat calon kepala desa, yakni tidak pernah sebagai kepala desa selama dua kali masa jabatan.
Ketujuh, penyisipan satu pasal, di antara Pasal 34 dan pasal 35, yakni Pasal 34a tentang jumlah calon kepala desa. Kedelapan, perubahan Pasal 39 terkait masa jabatan kepala desa menjadi sembilan tahun, paling banyak dua kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.
Kesembilan, penyisipan satu pasal di antara Pasal 50 dan Pasal 51, yakni Pasal 50a tentang hak perangkat desa. Kesepuluh, perubahan Pasal 56 tentang masa keanggotaan badan permusyawaratan desa (BPD) menjadi sembilan tahun dan dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, yang pengisiannya dilakukan secara demokratis dengan memperhatikan 30 persen keterwakilan perempuan.
Kesebelas, Pasal 62 tentang penambahan hak badan permusyawaratan desa, untuk mendapatkan jaminan sosial di bidang kesehatan, ketenagakerjaan serta mendapatkan tunjangan purnatugas satu kali di akhir masa jabatannya, yang diatur dalam peraturan pemerintah.
Keduabelas, Pasal 72 tentang alokasi anggaran dana desa sebesar 20 persen dari dana transfer daerah. Ketigabelas, penyisipan satu pasal, di antara Pasal 72 dan Pasal 73, yakni Pasal 72a tentang pengelolaan dana desa untuk meningkatkan kualitas masyarakat desa.
Keempatbelas, Pasal 74 tentang insentif yang diberikan kepada rukun tetangga ataupun rukun warga sesuai dengan kemampuan keuangan daerah. Kelimabelas, Pasal 79 ayat 2 huruf a tentang rencana pembangunan jangka menengah desa, untuk jangka waktu sembilan tahun.
Keenambelas, penyisipan satu pasal di antara Pasal 87 dan Pasal 88 yakni Pasal 87a tentang Badan usaha Milik Desa (Bumdes) yang dikelola secara profesional dengan bekerja sama dengan badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD), badan usaha milik swasta dan/atau koperasi untuk membentuk kemitraan yang saling menguntungkan antar pelaku ekonomi dan saling menguatkan untuk mewujudkan demokrasi ekonomi efisiensi nasional yang berdaya saing tinggi.
Ketujuhbelas Pasal 118 tentang aturan peralihan sebagai berikut; Bagian pertama, kepala desa dan anggota badan permusyawaratan desa yang telah menjabat dua periode sebelum undang-undang ini berlaku dapat mencalonkan diri satu periode lagi berdasarkan undang-undang ini.
Bagian kedua, kepala desa dan anggota badan permusyawaratan desa yang masih menjabat pada periode pertama dan periode kedua menyelesaikan sisa masa jabatan sesuai dengan ketentuan undang-undang ini dan dapat mencalonkan diri satu periode lagi.
Bagian ketiga, kepala desa dan anggota badan permusyawaratan desa yang masih menjabat untuk periode ketiga, menyelesaikan sisa masa jabatannya sesuai dengan undang-undang ini.
Bagian keempat, kepala desa yang sudah terpilih tetapi belum dilantik, masa jabatannya mengikuti ketentuan undang-undang ini dan bagian kelima, perangkat desa yang berstatus pegawai negeri sipil, menjalankan tugasnya sampai ditetapkan penempatannya yang diatur dlm peraturan pemerintah.
Kedelapanbelas, penyisipan satu pasal di antara Pasal 120 dan Pasal 121, yakni Pasal 120a tentang ketentuan mengenai pemantauan dan peninjauan atau post legislative security yaitu tiga tahun setelah pengundangannya, pemerintah melaporkan undang-undang ini kepada DPR RI dan Kesembilanbelas, perbaikan rumusan teknis redaksi Pasal 2, Pasal 4, Pasal 50, Pasal 67. Pasal 78 dan Pasal 86.
Revisi UU Desa Tidak Mendesak
Atas dinamika politik terkait kepentingan pragmatis dan oportunis merevisi UU Desa tersebut, maka Kongres Rakyat Nasional (Kornas) sebagai wadah berhimpun dan berjuang rakyat dalam mewujudkan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia menyampaikan pandangan dan sikap sebagai berikut:
Pertama, bahwa tidak terdapat hal ikhwal kegentingan yang memaksa untuk melakukan revisi UU Desa saat ini. Maka revisi UU Desa yang diinisiasi DPR tersebut sebagai transaksi politik paling busuk pasca reformasi. Revisi UU Desa tidak terkait kebutuhan dan kepentingan rakyat. Namun hanya transaksi politik jangka pendek menjelang Pemilu 2024.
Kedua, bahwa revisi UU Desa yang sudah dijadikan sebagai RUU inisiatif DPR adalah reaksi ketakutan parpol atas ancaman para kades terkait kepentingan pengamanan suara pada Pemilu 2024.
Ancaman para kades akan menghabisi suara parpol yang tidak mendukung revisi UU Desa memaksa parpol segera bertindak. DPR langsung patuh dan jinak kepada para kades dan mewujudkan revisi kilat UU Desa sebelum Pemilu 2024 meski tidak termasuk bagian program legislasi nasional (prolegnas) 2023.
Ketiga, bahwa ancaman akan menghabisi suara parpol dalam Pemilu seharusnya dimaknai sebagai tindakan mengganggu Pemilu. Ancaman para kades tersebut dapat dijadikan sebagai bukti permulaan adanya niat menghasut orang lain untuk memilih atau tidak memilih parpol sesuai kepentingan politik para kades.
Para kades yang mengancam justru harus diselidiki oleh aparat penegak hukum, bukan diberi kompensasi revisi UU Desa.
Keempat, bahwa hak suara setiap warga negara dijamin konstitusi RI secara bebas dan mandiri. Tidak ada pihak yang dengan kekuasaan jabatannya dibenarkan cawe-cawe terhadap pemilih untuk memilih atau tidak memilih peserta Pemilu. Maka parpol seharusnya tidak terpengaruh dengan ancaman para kades.
Jika ditemukan ada kades yang melakukan tindakan mempengaruhi proses Pemilu berupa ajakan, hasutan justru parpol harus melakukan upaya hukum.
Kelima, bahwa revisi UU Desa terkait perubahan waktu dari 6 tahun menjadi 9 tahun dalam 1 periode adalah tindakan penghianatan terhadap reformasi.
Pada masa orde baru, 1 periode kades hanya 8 tahun. Pada masa itu terjadi kejenuhan kepemimpinan di desa, demokrasi tidak bertumbuh karena jarak antara satu pilkades ke pilkades berikutnya terlalu lama. Maka semua parpol yang mendukung perubahan waktu dari 6 tahun menjadi 9 tahun adalah parpol anti reformasi dan semangatnya lebih buruk dari orde baru.
Keenam, bahwa konflik yang terjadi pasca pilkades yang dijadikan sebagai salah satu alasan revisi UU Desa terjadi akibat pengaruh buruk parpol. Politik uang dalam pilkades terjadi karena sebagai bagian dari kekuasaan eksekutif, jabatan kades dianggap strategis untuk kepentingan parpol.
Ketujuh, bahwa Indonesia sedang mengalami defisit politisi yang berkualitas sebagai akibat dari sistem rekrutmen politik yang buruk. Maka hal ikhwal kegentingan yang memaksa justru revisi paket UU Politik, baik UU Parpol, UU Pemilu, UU Pilkada, termasuk RUU Pemberantasan Politik Uang dalam Pemilu, bukan UU Desa. Sebab, sepanjang parpol tidak berubah, maka Indonesia tetap akan mengalami kemunduran demokrasi.
Kornas akan terus mengawal proses revisi UU Desa hingga akhir. Jika revisi UU Desa tetap dilanjutkan berdasarkan kepentingan transaksi politik pragmatis dan oportunis, maka Kornas akan mengajukan judicial review UU Desa kepada Mahkamah Konstitusi.(***)
Penulis adalah Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas)
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post