Hal ini tentu dapat berpotensi menjadikan sekat antara konstituen dan balon di eksekutif dan legislatif dalam membangun komunikasi dialogis. Sebab bagi para calon kiblat pencarian simpati dan dukungan telah beralih ke partai politik itu sendiri.
Jikalau sistem proporsional tertutup diterapkan hanya akan meletakkan dominasi pimpinan partai atas daulat rakyat dan tentu akan menjadikan rakyat hanya sekedar kamuflase demokrasi atau sekedar figuran dalam pemilu.
Ada empat poin yang penting diuraikan mengenai sistem proporsional tertutup. Pertama, sistem proporsional tertutup menjauhkan partisipasi masyarakat dalam menentukan calon wakilnya di lembaga legislatif. Bagaimana tidak, penentuan calon anggota legislatif yang akan terpilih bukan berada pada masyarakat, melainkan di internal partai politik.
Kedua, proporsional tertutup sama sekali tidak menghapus tren politik uang, melainkan hanya memindahkan, dari calon ke masyarakat menjadi calon ke partai politik. Sebab, kandidat terpilih bergantung pada nomor urut calon anggota legislatif yang ditentukan sepenuhnya oleh partai politik.
Ketiga, proporsional tertutup membuka ruang terjadinya nepotisme di internal partai politik. Bukan tidak mungkin, calon-calon yang memiliki relasi dengan struktural partai dapat dimudahkan untuk mendapatkan nomor urut tertentu.
Keempat, sistem proporsional tertutup berpotensi menghilangkan relasi dan tanggung jawab anggota legislatif kepada rakyat. Bagaimana tidak, penentuan akhir keterpilihan calon berada di bawah kekuasaan partai dan oleh karenanya anggota legislatif terpilih hanya akan bertanggung jawab kepada partai politik. (https://antikorupsi.org/id/polemik-sistem-pemilu-proporsional-tertutup-upaya-belenggu-hak-rakyat-dan-ruang-gelap-politik-uang).
Sistem proporsional tertutup tentu akan menghambat pendidikan politik dan partisipasi publik dalam Pemilu, serta mempersempit kesempatan publik dalam membangun interaksi politik antara pemilih dan wakil rakyat yang ingin dipilih.
Sistem proporsional tertutup dapat mendelegasikan hak komunikasi politik rakyat tertindas yang akan didistribusikan kepada penguasa. Komunikasi politik tidak akan berjalan secara efektif dan akan mengurangi keinginan publik untuk maju sebagai calon anggota legislatif sebab kesempatan besar ada di tangan partai politik sehingga krisis calon anggota legislatif juga menjadi sulit dihindari.
Hal ini bisa menyebabkan melemahnya kepercayaan publik (public trust), sebab kader partai politik yang duduk di parlemen nantinya sudah bisa diprediksi sejak jauh-jauh hari lantaran keputusannya ditentukan oleh partai.
Discussion about this post