“Inflasi tertinggi pada bulan Mei terjadi di tahun 2022 sebesar 0,40 persen. Sementara, Mei 2025 justru mencatatkan deflasi sebesar 0,37 persen—angka terendah dalam lima tahun terakhir,” jelas Pudji.
Ia menyampaikan bahwa andil terbesar terhadap pergerakan inflasi selama Mei umumnya berasal dari komponen inti. Namun, pada 2022 dan 2023, komponen harga bergejolak atau volatile food mendominasi penyumbang inflasi.
Di Mei 2025, inflasi masih dipengaruhi oleh komoditas-komoditas bergejolak seperti tomat, beras, dan timun. Sementara itu, dari sisi komponen inti, tarif pulsa ponsel, emas perhiasan, dan kopi bubuk juga menjadi penyumbang inflasi.
Berdasarkan data SP2KP hingga 5 Juni 2025, Indeks Perkembangan Harga (IPH) minggu pertama Juni menunjukkan, 12 provinsi mengalami kenaikan IPH, 1 provinsi stabil, dan 25 provinsi mengalami penurunan dibandingkan bulan sebelumnya. Kenaikan IPH di 12 provinsi tersebut didominasi oleh komoditas beras dan daging ayam ras.
Olehnya itu, Pudji menekankan pentingnya pengendalian harga pangan dan penguatan distribusi logistik daerah.
“Ketika komponen harga bergejolak mendominasi, itu berarti sistem distribusi dan pasokan belum stabil. Ini harus menjadi fokus kerja pemerintah pusat dan daerah,” tegasnya.
Wamendagri juga mengingatkan pentingnya optimalisasi ruang fiskal daerah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Bima Arya menegaskan bahwa kepala daerah harus mampu mengelola belanja daerah secara efektif, berbasis data yang akurat.
“Kepala daerah perlu terus mendorong dan mengoptimalkan belanja daerah agar pertumbuhan ekonomi di wilayah masing-masing dapat berjalan maksimal. Selain itu, pemerintah pusat membuka ruang bagi kepala daerah untuk menyampaikan masukan dan data-data strategis,” ujarnya.
Dengan kebijakan ini, diharapkan sinergi antara pusat dan daerah dapat semakin solid dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional.
Editor: Ridho Achmed
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post