Oleh: AMR
Namanya Pak Mahwar. Ia guru saya di SD. Beliau masih sehat dan bahagia menikmati pensiunnya hingga kini. Bagi saya, ia pendidik yang punya banyak pengetahuan. Salah satu ilmu yang melekat betul di kepala saya hingga saat ini adalah soal awalan dan akhiran.
Dengan gaya khasnya, ia meminta kami melafal dan menghafal. Ber, ter, di, me, pe, se masuk kategori awalan. Sedangkan akhiran, kami dikenalkan dengan an, in, kan, lah, tah, kah, ku, mu, nya. Saya tak lagi pernah “menggugat” itu, bahkan menganggapnya sebagai dogma. Ia jadi kebenaran.
Tiap kali menulis, kenangan soal awalan dan akhiran yang legendaris itu selalu diingat. Perlahan, saya menyukai Bahasa Indonesia berikut berbagai jenis, ragam dan lema yang menyertainya.
Bila menemukan kata baru, saya pasti akan mencari artinya. Aplikasi KBBI V ada di Ponsel saya.
Bila sedang membaca-apapun yang ada hurufnya-saya selalu memperhatikan urusan awalan dan akhiran yang ternyata punya banyak kaidah saat mengimbuhnya dalam satu kata.
Misalnya, boleh jadi jarang yang memerhatikan soal kata-kata yang diawali huruf K, P, T, dan S, bagaimana saat bertemu awalan. Urusan ini ternyata tidaklah sederhana, karena punya norma sendiri.
Pada praktiknya-bukan praktek ya-seringkali kita menemukan tulisan di berita-berita yang tautannya memenuhi grup-grup WA abai atau mungkin si penulis tak paham kaidahnya.
Lagi-lagi, ini soal kebiasaan yang dianggap benar. Padahal rumusnya adalah biasakan yang benar. Membenarkan yang biasa, jatuhnya salah kaprah.
Contohnya, kata sosialisasi. Bila diberi imbuhan “meng”, biasanya langsung ditulis “mensosialisasikan”. Padahal harusnya diubah jadi “menyosialisasikan”.
Discussion about this post