Oleh: Rusdianto Samawa
Jejak neoliberalisme di Indonesia dimulai saat pemerintahan Orde Baru, Maret 1966. Membaiknya hubungan politik Indonesia dengan negara-negara lain disertai masuknya arus modal asing ke Indonesia. Sejak itu, Penanaman Modal Asing (PMA) dan utang luar negeri mulai meningkat.
Sekarang pun, hutang sudah dicapai ribuan triliun. Pakai apa bayarnya?. Jalan terbaik terakhir agar bisa bayar, lelang laut beserta isinya ke asing dengan sistem kenaikan PNBP melalui mekanisme kuota tangkap ikan zona industri dengan mobilisasi kapal asing untuk menarik PNBP lebih besar.
Tentu, kapal besar, PNBP besar sistem kuota, pasca bayar dan pasca produksi. Makanya target penarikan PNBP Rp281 triliun setiap tahun. Pola lelang kouta tangkap zona industri ini lebih besar targetnya untuk mengejar kegagalan kenaikan PNBP selama ini yang hanya Rp900 miliyar setiap tahun.
Laut dibidik untuk dikeruk melalui sistem kuota, pasca bayar, dan pasca produksi ditempat pendaratan ikan. Semua muaranya menaikan PNBP untuk bayar utang. Regulasinya terdapat dalam Peraturan Pemerintah No 85 tahun 2021 tentang Kenaikan Tarif Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Kini regulasi tersebut, diterbitkan regulasi turunan untuk backup sistem: kuota dan pasca bayar.
Kebijakan berbasis kuota, merupakan jejak-jejak liberalisasi wilayah laut. Terbuka dan bebasnya laut Indonesia untuk dieksploitasi adalah agenda yang sudah lama dinantikan. Alasan paling baik agar agenda liberalisasi berjalan yakni penangkapan ikan terukur.
Bahkan, penerapan pemungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pasca produksi dianggap langkah reformasi yang dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Hal ini, sangat bahaya.
Siapa yang menjamin kapal asing itu tangkap ikan sesuai kuota?. Lalu, siapa yang bertanggungjawab perbaiki tata kelola perikanan nasional yang sedemikian rusak?. Mereka selalu bermental bela diri atas kebijakan yang salah arah dengan ucapan-ucapan pemberi harapan. Kata-katanya merasuk: “ini kebijakan lebih baik dan berkelanjutan menuju ekonomi biru.”
Melalui mekanisme PNBP pasca bayar, pasca produksi dan sistem kuota cara kerja mental menjajah diri sendiri. Alih-alih harapkan keadilan, pemerataan ekonomi, keberlanjutan sumber daya. Bahkan kedepan ambruk, karena sistem kuota dengan ribuan kapal tangkap ikan di laut Indonesia. Ditambah waktu kontrak sistem kuota sekitar 20 tahun.
Ibarat pegadaian dan Mall-Mall. Penuh diskon. Di pegadaian, bahan baku emas dari gunung Indonesia. Lalu diolah dan dipercantik jadi cincin, kalung, anting dan barang antik lainnya. Kemudian, distribusi ke mall-mall maupun pasar-pasar modern. Yang mengeruk dan mengolah tambang-tambang asing. Begitu pun laut, seperti investasi mall-mall di kota besar. Semua lapak dari Indonesia. Isinya barang impor.
Negara dan pemerintah hanya kebagian pajak dari hasil pembelian rakyat. Kebetulan rakyatnya, terpaksa menyukai barang impor karena pilihan tidak ada. Barang yang dijual tak lagi berasal dari hasil UMKM dan ekonomi kreatif anak negeri sendiri.
Begitu juga, logika penangkapan ikan sistem kuota, pasca bayar dan pasca produksi. Pemerintah hanya kebagian non pajak pendapatan. Hitungannya masing-masing jenis ikan. Paling mengerikan pengusaha perikanan pribumi sendiri mati ditengah lumbung lautnya. Mengapa? karena sistem kuota, pasca bayar dan pasca produksi bersyarat perbesar gross ton kapal.
Pengusaha perikanan Indonesia belum ada yang mampu menambah syarat gross ton kapal dari 1000 GT hingga 5000 GT. Kekuatan pengusaha lokal hanya sampai 300 gross ton kapal. Bukan perkara mudah menaikkan gross ton kapal hingga 5000 gross ton. Butuh biaya ratusan miliyar. Akhirnya, pengusaha lokal tak lagi ada kesempatan untuk bermitra dan berusaha dibidang kelautan dan perikanan.
Jalan mulus liberalisasi kelautan dan perikanan melalui pelaksanaan pemungutan PNBP sistem kuota, pasca bayar dan pasca produksi berdasarkan implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Laut Indonesia, akan dipenuhi investasi tanpa batas dan kontrol. Laut Indonesia semakin menarik dan lahan subur untuk dikeruk.
Discussion about this post