Oleh: Teti Ummu Alif
Mengejutkan. Sejumlah startup di Tanah Air beramai-ramai melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawannya pada bulan lalu. Kabar pengurangan karyawan startup tersebut mulanya datang dari platform edutech Zenius, disusul platform fintech pembayaran LinkAja, dan teranyar platform e-commerce JD.ID.
Zenius mengumumkan PHK pada 25% pegawainya, yaitu sekitar 200 orang. LinkAja mem-PHK ratusan karyawannya, Fabelio puluhan karyawannya, Tani Hub juga telah menutup dua gerainya di Bandung dan Bali (katadata.com 3/6).
Maraknya perusahaan startup tersebut melakukan PHK besar-besaran disebut-sebut sebagai fenomena bubble burst. Bahkan, pengusaha kawakan tanah air Hary Tanoesoedibjo menyebut kondisi ini dengan “The golden days of startup are already over” (hari-hari emas startup sudah berakhir).
Perusahaan startup atau perusahaan rintisan yang bergerak di bidang teknologi internet ini mulai ramai berdiri pada akhir tahun 90-an. Namun, sekitar 2019 perusahaan startup mulai mengalami gejolak, mem-PHK sejumlah karyawannya, hingga mengalami kebangkrutan.
Apa lagi sejak pandemi melanda dunia membuat perusahaan startup kian bergejolak dan tak berdaya. Sebagaimana yang dialami beberapa startup Indonesia pada akhirnya harus gulung tikar seperti Airy Rooms, Stoqo, Qlapa, dan Sorabel. Banyaknya startup yang terguncang tentu menjadi pukulan bagi perekonomian dalam negeri.
Ternyata fenomena PHK di perusahaan startup bukan hanya terjadi di Indonesia saja, negara lain pun mengalami hal yang sama. Robinhood misalnya, memangkas 300 karyawannya, Netflix (150 pegawai), dan Cameo (87 pegawai) (CNBC Indonesia, 28/5/2022).
Berdasarkan laporan aggregator layoff.fyi menyatakan, secara global jumlah pegawai di perusahaan startup yang terkena PHK mencapai 15 ribu orang pada Mei ini. Sejumlah startup mengungkap alasan PHK karena adanya penurunan dan perlambatan pendanaan hingga harus dilakukan penyesuaian dan perubahan strategi bisnis.
Hal ini terjadi akibat ketergantungan perusahaan startup pada pendanaan dari investor. Sementara itu, pendanaan tersebut digunakan untuk operasional bisnis yang merugi atau dikenal dengan “bakar uang”.
Memang, selama ini perusahaan startup seperti berlomba-lomba “membakar uang”, suatu strategi bisnis yang menggunakan modalnya habis-habisan agar konsumen “kecanduan” dan terus menggunakan layanan startup dalam jangka panjang.
Bubble burst atau ledakan gelembung adalah suatu kondisi ekonomi yang melonjak tinggi, tetapi dibarengi dengan kejatuhan yang relatif cepat. Menjamurnya startup di seluruh dunia disambut dengan derasnya gelontoran dana dari para investor.
Discussion about this post