Oleh: Henny Murniati, SS
Jalan-jalan sore alias JJS tentu bukan hal yang baru bagi kita. Tapi bagaimana jika menghabiskan waktu sore berkeliling kota, dengan becak motor antik zaman kolonial yang dulu sering dipakai sebagai kendaraan perang.
Ya, pengalaman “ngebut” dengan betor tua ini cuma bisa dirasakan sensasinya di Kota Pematang Siantar, Sumatera Utara. Kota yang bertugu Becak Siantar.
Kedatangan kami ke Kota Pematang Siantar di sela-sela kegiatan ekspedisi dan merupakan salah satu rangkaian acara Ekspedisi Geopark Kaldera Toba SMSI 2023, yang dilaksanakan dalam rangka peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2023 di Sumatera Utara.
Kami tiba di depan Balai Kota Pematang Siantar, Senin sore (06/09), setelah menjalani serangkaian perjalanan panjang yang dimulai dari Tapanuli Utara, Sabtu (04/09) sebelumnya.
Meskipun sedikit lelah dan mengantuk, tapi kami yang jumlahnya hampir 200 pengurus SMSI dari berbagai daerah tetap semangat menjalani ekspedisi ini.
Begitu turun dari mobil, terlihat sekelompok pria yang duduk di sepeda motor besar yang terparkir rapi di sebagian jalan, yang sebagian di antara motornya sudah lusuh dan pudar catnya. Sempat timbul pertanyaan dalam benak saya.
“Apakah perjalanan mereka dihentikan polisi lalu lintas karena rombongan kami yang baru tiba?”
Belum terjawab pertanyaan tersebut, saya kembali tertegun dan penasaran melihat tugu yang berdiri kokoh di seberang Balai Kota Pematang Siantar. Tugu Becak Motor, bertuliskan BSA…hemm… apa itu BSA?
Sejenak, pertanyaan-pertanyaan itu terlupakan karena kami sudah disambut oleh Walikota Pematang Siantar Susanti Dewayani yang didampingi Ketua Dewan Kerajinan Daerah (Dekranasda) Kusma Erizal Ginting di depan kantor Pariwisata Pematang Siantar, tempat tenda penyambutan tamu berada.
Seperti dalam kunjungan-kunjungan kami di kabupaten kota sebelumnya, kami para tamu berbaris rapi. Di depan kami, beberapa muda-mudi asli Pematang Siantar membawakan tarian selamat datang khas Simalungun yaitu Tari Tortor Dihar dan Tortor Sombah.
Dua pemuda terdepan yang mengenakan pakaian silat berwarna merah putih hitam khas warna Batak kemudian memperagakan gerakan silat, dan diakhiri dengan mengambil sepasang golok panjang yang tadinya melintang di tengah pintu masuk. Kami pun dipersilahkan masuk.
Sementara di belakang mereka, para penari wanita dengan gemulai terus menari hingga para tamu menempati tempat duduk yang telah disediakan.
Di meja, sudah terhidang roti Ganda, roti khas Pematang Siantar yang sudah ada sejak tahun 1979. Roti Ganda ini berupa roti tawar yang dibelah dua kemudian diisi berbagai macam kream. Untuk yang disajikan saat kami datang, berisi kream dan seres coklat.
Tak lama, kopi Tok Kong hangat pun diantarkan ke meja kami. Aromanya begitu khas. Saya bukanlah pecinta kopi, tapi untuk menyicipi bagaimana rasa kopi khas Pematang Siantar yang legendaris dan sudah ada sejak tahun 1925 tersebut, tak ada salahnya untuk mencoba. Apalagi, dari berbagai literasi diketahui kopi ini diolah secara manual sehingga mengeluarkan aroma khas dan tidak meninggalkan ampas.
Roti Ganda pun saya celupkan ke dalam kopi…ehmmm..rasa rotinya yang manis sangat nikmat bercampur kopi Kok Tong. Sesekali, saya seruput kopi hangat, memang tidak berampas. Dalam sekejap, sepotong roti ganda dan secangkir kopi Kok Tong pun habis.
Sambil menikmati kopi Kok Tong dan Roti Ganda, kami pun mendengarkan berbagai sambutan baik dari SMSI maupun dari tuan rumah. Walikota Pematang Siantar Susanti Dewayani mengaku mengapresiasi kedatangan para pengurus Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) yang menjadikan Pematang Siantar sebagai salah satu lokasi Ekspedisi Geopark Kaldera Toba. Kota ini memang bagian dari ekologi Danau Toba.
Discussion about this post