Oleh: Zulnadi
Mengelilingi Danau Toba di Sumatra Utara (Sumut) agaknya tidak cukup satu-dua hari saja. Eloknya berhari-hari hingga berbulan menyisir pulau sebuah Anugerah Tuhan. Panca indra ini tidak akan pernah puas dan lelah menikmati keindahan alam tiada duanya, kesejukan udara disela-sela liukan pendakian-penurunan Bukit Barisan yang aduhai.
Tak kalah menariknya keunikan budaya serta kemisteriusan sejarah Suku Batak yang melegenda itu.
Momen Hari Pers Nasional (HPN) ke 23 tahun 2023 telah mengantarkan penulis mengunjungi Danau Toba selama dua hari yang cukup menakjubkan.
Adalah Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) yang merupakan salah satu konstituen Keluarga Besar Pers Indonesia mengagendakan Ekspedisi Geopark Kaldera Toba, sebagai ajang pemanasan menjelang acara puncak tanggal 9 Februari yang dihadiri Presiden Joko Widodo.
Srikandi Ketua SMSI Sumut Erris Julietta Napitupulu adalah sosok yang sangat berjasa dan pantas diapresiasi yang telah membawa rombongan pengurus SMSI se Indonesia mengelilingi Danau Toba yang berada di wilayah tujuh kabupaten itu.
Ketum SMSI Pusat Firdaus dengan Sekjen M. Natsir selalu memuji kegesitan Ketua SMSI Sumut dalam menggawangi Ekspedisi Geopark Kaldera Toba. Fantastis!
Susunan acara yang begitu padat, namun menyenangkan, rombongan Ekspedisi memulai perjalanannya dari Kabupaten Tapanuli Utara dengan ibukota Tarutung, Sabtu, 4 Februari 2023. Disini rombongan disambut Bupati Taput Nikson Nababan yang akan mengakhiri pengabdian periode keduanya tahun 2024 mendatang.
Sejenak tinggalkan dulu soal keindahan alam Danau Toba dan keunikan budaya Batak. Yang ingin diungkap sesi tulisan ini adalah apakah benar “Orang Batak Makan Orang”. Mitos atau fakta. Inilah ceritanya.
Asal muasal cerita tersebut adalah berasal dari sebuah pulau bernama Samosir. Huta Siallagan atau Kampung Siallagan. Disini asal cerita bermula.
Siallagan sendiri diambil dari nama Raja Laga Siallagan yang dahulu kala membangun perkampungan tersebut. Ia merupakan garis keturunan suku Batak asli. Kampung tersebut berlokasi di Desa Ambarita, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, tak jauh dari area Danau Toba.
Huta Siallagan sendiri tampak seperti sebuah benteng dengan tembok batu yang mengelilingi area seluas kurang lebih 2.400 meter persegi dan berfungsi untuk melindungi kampung tersebut.
Di hari ketiga, Senin 6 Februari 2023, rombongan Ekpedisi Geopark Kaldera Toba, sampai juga di kampung yang menyimpan banyak cerita dan juga mitos.
Adalah keturunan Raja ke-17 Siallagan, Gading Jansen Siallagan yang menjadi narasumber tunggal dari cerita tersebut. GJ Siallagan mengaku baru 10 tahun menetap di kampung, sebelumnya merantau ke Bandung. Namun karena kakaknya meninggal maka Ia dipanggil pulang untuk melanjutkan waris sebagai keturunan Raja.
Opung, begitu panggilannya selain memangku jabatan Raja sekaligus bertindak sebagai pemandu yang sangat menguasai ceritanya. Ia sesekali menyelingi dengan kata-kata yang memancing ketawa para tamu. Tujuannya agar pengunjung rileks dan santai. Tak perlu serius dengan apa yang Ia ungkapkan.
Opung, GJ Siallagan, tetua kampung setempat adalah berpenampilan sederhana, postur sedang dengan gigi masih utuh, terus bercerita. Sebelumnya rombongan disambut tarian adat setempat. Lalu duduk di panggung yang sudah tersedia, sedang keturunan Raja berdiri di halaman dengan memegang mic, pengeras suara.
Agaknya dari Kampung Sialagan ini pula titik awal sejarah peradaban penegakan hukum di Samosir. Barangkali dari Samosir ini pula terinspirasi banyak orang Batak menjadi penegak hukum di Indonesia dari dulu hingga sekarang.
Alkisah, Gading Jansen Siallagan menjelaskan bahwa di kampung tersebut terdapat area yang disebut dengan “Batu Persidangan”. Disinilah sang Raja mengadili para pelanggar hukum adat. Batu persidangan ini berbentuk sebuah meja dengan kursi yang tersusun melingkar.
“Jadi kalau Raja Siallagan bersidang memberikan hukuman kepada setiap penjahat, di sanalah dia disidang,” kata Gading sambil menunjuk lokasi.
Dengan fasih Gading menjelaskan prosesi persidangan Raja-Raja dahulu yang berlangsung di Batu Persidangan itu. Tempat di sebelah kanan Raja ialah adik-adik raja, sementara di sebelah kirinya adalah para penasihat yang terdiri atas dua penasihat terdakwa, dua penasihat korban, dan satu penasihat kerajaan.
“Kenapa mereka perlu penasihat kerajaan? Apabila tidak ada komitmen (kesepakatan) antara empat penasihat, maka keputusan ada di tangan penasihat kerajaan. Kalau bahasa sekarang itulah yang disebut pengacara,” kata Gading.
“Jadi jangan heran, kalau orang Batak banyak jadi pengacara. Mereka itu lulusan Siallagan semua,” kata Gading sedikit melawak, diikuti tawa Ketum SMSI Firdaus dan rombongan lainnya.
Lebih jauh GJ Sialagan, mengatakan bahwa dalam hukum Raja Siallagan saat itu, setidaknya terdapat tiga jenis persidangan. Ketiganya ialah persidangan untuk tindak pidana ringan, tindak pidana umum, dan tindak pidana serius (berat).
“Kami sebut tindak pidana ringan, yaitu mencuri. Raja masih memaafkannya, Raja membebaskannya, asal dia bisa bayar empat kali apa yang dia curi. Kalau dia curi satu kerbau, dia harus bayar empat kerbau, maka boleh bebas,” kata Gading.
Discussion about this post