Oleh: Sutrisno Pangaribuan
Kelakuan buruk partai politik (baca: DPR) tidak butuh waktu lama untuk dicontoh para kepala desa (kades). Pasca aksi memalukan bernada ancaman delapan dari sembilan Fraksi DPR terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sistem Pemilu.
Kali ini giliran DPR kembali diancam oleh Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi). Para kades tersebut kembali menggelar “aksi turun ke jalan” di depan Gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (5/7/2023).
Kades Memaksa DPR dan Presiden
Sebelumnya sejumlah kades di Pulau Madura, Jawa Timur, bersepakat untuk menghabisi suara parpol yang menolak masa perpanjangan jabatan kades dari 6 menjadi 9 tahun di pemilu 2024.
“Suara Parpol di pemilu 2024 nanti yang tidak mendukung masa jabatan kades jadi 9 tahun akan kami habisi,” kata Kades Tentenan Timur, Larangan, Pamekasan, Farid Afandi, Jumat (20/1/2023).
Farid mengklaim seluruh kades di Madura yang hadir demo ke DPR di Senayan Jakarta sekitar 800 kades. Menurut Farid kehadiran para kades tersebut sebagai bukti bahwa kades memiliki pengaruh besar terhadap suara dan keberadaan parpol di Pemilu 2024.
Pada aksi terbaru, para kades mendorong revisi Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa disahkan sebelum Pilpres 2024.
“Pokoknya sebelum pilpres aja harapan kita,” kata Surtawijaya (Surta), Ketua Apdesi.
Surta juga mendorong Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengeluarkan Perppu agar revisi UU Desa tersebut lebih cepat rampung. Menurut Surta, Perppu menjadi salah satu solusi.
“Perppu mungkin ya biar lebih cepat, untuk supaya sebelum pilpres ini udah selesai,” ujar Surta.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad (Fraksi Gerindra) langsung menyahuti aksi tersebut dengan menggelar pertemuan bersama perwakilan kades. Kepada DPR, Apdesi menyampaikan sejumlah tuntutan untuk dimasukkan dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yakni:
Pertama, asas pengakuan desa dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 benar-benar diterjemahkan secara detail dalam setiap pasal, termasuk aturan turunannya yaitu asas rekognisi dan asas subsidioritas. Kedua, dana desa ditetapkan sebesar 10 persen dari APBN, bukan dari dana transfer daerah.
Ketiga, masa jabatan kepala desa 9 tahun untuk 3 periode dan/atau 9 tahun untuk 2 periode dengan pemberlakuan surut atau efektif melanjutkan bagi kepala desa yang sementara menjabat saat revisi UU disahkan.
Keempat, pemilihan kepala desa secara serentak wajib dilaksanakan oleh bupati/wali kota. Kelima, kepala desa, BPD, dan perangkat desa mendapatkan penghasilan berupa gaji/tunjangan tetap bersumber dari dana desa/APBN. Serta tunjangan purna tugas dihitung berdasarkan lamanya dan masa pengabdiannya.
Keenam, yuridiksi wilayah pembangunan kawasan desa. Ketujuh, dana alokasi khusus desa. Kedelapan, pejabat kepala desa diangkat melalui musyawarah desa. Kesembilan, pemilihan kepala desa bisa diikuti oleh calon tunggal. Kesepuluh, dana operasional kepala desa sebesar 5 persen dari dana desa.
Kesebelas, status perangkat desa menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja bertugas di desa (P3K). Keduabelas, kekayaan milik desa berupa aset lahan atau penyerahan yang bersifat tetap dari pemerintah pusat/daerah, BUMN, dan swasta dan Ketigabelas, stempel pemerintahan desa adalah burung garuda.
Usai bertemu pimpinan DPR, Surta membantah jika desakan revisi UU Desa ini bernuansa politis menjelang Pemilu 2024. Surta mengklaim, bahwa Apdesi tidak memiliki kepentingan dalam kontestasi politik lima tahunan tersebut.
“Saya sampaikan ini adalah agar bermanfaat untuk orang banyak di desa-desa se-Indonesia agar percepatan pembangunan lebih baik di Indonesia, baik infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya,” kata Surta.
Mewakili DPR, Dasco menyampaikan bahwa Revisi Undang-Undang Desa atau RUU Desa akan disidangkan dalam paripurna DPR, pada Selasa (11/7/2023).
Discussion about this post