Oleh: Rusdianto Samawa
Nampak suram masa depan Land Reform Indonesia saat ini. Selama 32 tahun rezim Soeharto, ekonomi terasa membaik, kebijakan pembangunan per repelita I-V. Berjangka pendek dan menengah sangat terukur. Rakyat sangat mudah mendapatkan tanah dari warisan penjajahan Belanda dan Jepun (Jepang). Administrasi pertanahan masa Soeharto begitu mudah diurus.
Walaupun ada kekurangannya, tak bisa ditutupi seperti oligarki keturunan menguasai puluhan hektar. Jelas, lebih sebanding dikuasai oligarki dengan rakyat. Tetapi, rakyat mudah mendapatkan tanah dan pengurusan administrasinya. Kendati, hembusan napas reformasi dan perubahan serta perbaikan pada Land Reform Indonesia yang digalang oleh mahasiswa dan pressure group (LSM dan elemen rakyat) masa itu cukup kuat. Tetapi, tidak banyak mengubah peta jalannya pembangunan repelita I-V yang semangatnya kembalikan kedaulatan rakyat untuk menguasai tanahnya.
Perbandingan sekarang, jauh lebih sulit, rumit dan pemerintah ketakutan sendiri. Pasalnya, mahasiswa yang dulu menuntut Land Reform itu sekarang menjadi pejabat partai politik, gabung dalam kekuasaan, pengambil kebijakan, dan eksekutor pembagian tanah-tanah serta pelaku pencurian, pembegalan tanah rakyat itu sendiri.
Land Reform yang mereka dengungkan dulu, menjadi muak, palsu dan kejahatan terhadap kedaulatan rakyat. Kantor-kantor dinas pengurusan tanah yang membawa pesan Land Reform dibangun diberbagai daerah. Tetapi, malah kantor-kantor itu pula yang merampas harta kekayaan keluarga, sanak saudara dan kerabat daripada rakyat. Tanah-tanah rakyat dibela, disertifikatkan, dan digandakan administrasinya.
Pemerintah yang harusnya menjaga semua indikator kejahatan dari Land Reform tersebut, malah, sebaliknya merampas kedaulatan tanah rakyat. Ekonomi sudah dibawah empat persen. Perilaku pejabat semakin menggila membegal tanah rakyat atas nama perbaikan administrasi. Mulai dari mental kepala desa hingga mental pejabat tinggi negara membegal tanah rakyat atas nama negara.
Wilayah pesisir sudah lama terjadi begal tanah rakyat, mulai modus transmigrasi yang masih berstatus tanah negara hingga tambak-tambak udang milik rakyat persengketakan di pengadilan. Di mana negara secara sengaja perhadapkan rakyat dengan oligarki. Gagalnya Land Reform ini, menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial dan output ekonomi di Indonesia, sehingga negara perlu persiapkan strategi yang dapat tanggulangi krisis ekonomi dan sosial.
Padahal Indonesia sedang dalam masa transisi dan ancaman “middle income trap”. Istilah ini pertama kali populer setelah dipakai dalam sebuah laporan Bank Dunia yang dirilis pada tahun 2007 berjudul An East Asian Renaissance: Ideas for Economic Growth.
Menurut Linda Glawe dalam literatur berjudul The Middle-Income Trap: Definitions, Theories and Countries Concerned, bahwa middle income trap merupakan suatu keadaan ketika negara berhasil mencapai tingkat pendapatan menengah tetapi tidak dapat keluar dari tingkatan tersebut untuk menjadi negara maju.
Karena Indonesia yang masih berstatus middle income trap selalu mengacu pada negara-negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi sangat pesat hingga mencapai status negara pendapatan menengah, seperti Amerika Serikat, China, Rusia, Turki, Arab Saudi dan lainnya. Namun gagal mengatasi perlambatan ekonomi guna mengejar ekonomi yang setara dengan negara-negara maju.
Indonesia sebagai negara berdaulat, kini menghadapi ancaman itu. Belum memiliki prediksi dan analisa kebijakan yang ketat. Terutama dalam negeri terjadi masalah-masalah yang sulit mendapat legitimasi rakyat, seperti Land Reform, investasi pulau-pulau terluar tanpa kontrol, penjualan ekspor pasir laut, batas wilayah negara masih simpang siur, penamaan pulau-pulau terluar terdalam terisolir. Hal ini, tak mungkin butuh 5 tahunan. Tentu sangat terlampau panjang perlu waktu membereskan.
Sementara negara kelas pertama masih memandang Indonesia sebagai sumber eksploitasi. Negara-negara tersebut, tentu misinya jelas yakni kurangi daya saing Indonesia di pasar dunia internasional agar Indonesia tetap berada di Middle Income Trap. Kurangnya, pemerintah belum menyadari bahwa keluarnya sumberdaya alam ke negara asing secara ilegal (nikel ilegal ke China) maupun ekspor resmi tanpa bisa mendorong perubahan struktur sosial ekonomi.
Discussion about this post