PENASULTRAID, KONAWE – Di bawah langit mendung Desa Wawonggole, Kecamatan Wonggeduku, Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), ratusan pelayat menundukkan kepala mengiringi kepergian jenazah seorang ayah, sahabat dan pejuang nafkah.
Dedi Wahyudin, sopir angkutan umum rute Kendari-Bombana itu telah dimakamkan Senin sore, 5 Mei 2025 dengan iringan doa, air mata dan emosi yang tertahan.
Dedi bukanlah tokoh besar. Bukan pula pejabat yang selalu disorot kamera. Namun, kisah hidup dan kematiannya mencerminkan luka lama bangsa ini, tentang rakyat kecil yang terus terpinggirkan oleh ketidakadilan, lemahnya perlindungan hukum, dan kerapuhan sistem layanan kesehatan bagi masyarakat miskin.
Sebelum dimakamkan, tubuh almarhum dimandikan dan disalatkan secara Islami. Para saksi mata menyebut bahwa wajah Dedi tampak tersenyum, seolah membawa pesan damai dari dunia yang penuh kekerasan.
“Orang baik memang selalu pergi lebih dulu,” ujar Sumarsono bersama rekan-rekannya, sahabat sekaligus sesama sopir yang hadir di rumah duka dan tampak menahan kesedihannya.
Bagi Sumarsono, Dedi bukan sekadar teman. Dia adalah panutan, orang tua bagi semua rekan seprofesinya di Terminal Baruga, Kota Kendari.
Rekan-rekan sopir dari Terminal Baruga yang hadir mengantar kepergian almarhum untuk selamanya menyebut Dedi sebagai “pahlawan kecil” yang setiap hari, setiap malam rela bermalam dan tidur di atas mobil mempertaruhkan nyawa demi menafkahi keluarga.
Dedi meninggal usai diserang oleh orang tak dikenal dalam suasana kerja. Pelaku hingga kini masih buron. Keluarga korban terus menuntut keadilan.
“Kami percaya polisi akan menangkap pelaku. Tapi, kami tidak hanya menuntut penangkapan, kami menuntut keadilan bagi seluruh sopir yang hari ini hidup dalam ancaman,” ujar Dardi Odebio, perwakilan keluarga korban.
Penyerangan ini menjadi sorotan karena menunjukkan betapa rentannya profesi sopir angkutan, profesi yang jarang mendapat perlindungan meski menjadi urat nadi mobilitas masyarakat.
Tragisnya, perjuangan Dedi tak hanya berakhir dengan kekerasan, tapi juga dengan diskriminasi layanan kesehatan.
Saat dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bahteramas, pihak keluarga menyatakan bahwa proses penanganan medis tersendat karena status korban sebagai pasien kriminal yang tidak ditanggung oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan.
“Kami bukan membatalkan operasi, hanya menunda karena harus koordinasi,” terang Dardi.

Bagi Dardi, penundaan dalam situasi genting adalah kegagalan sistem.
Ira Yatin, anggota keluarga lainnya bahkan menyebut bahwa BPJS Kesehatan tidak bisa bantu korban kriminal.
Discussion about this post