Oleh: Amrullah Andi Faisal
Antrean panjang di hari terakhir (10/10/2025) program pemutihan pajak kendaraan di berbagai daerah memperlihatkan kenyataan pahit. Rakyat kian terhimpit oleh beban fiskal yang tak sebanding dengan kemampuan hidupnya.
Mereka datang berjejal bukan karena ingin kembali berutang pada negara, melainkan berharap bisa sedikit lega di tengah tekanan ekonomi yang makin menekan dari segala arah. Kebijakan pemutihan pajak kendaraan sekilas tampak berpihak pada rakyat.
Pemerintah daerah menawarkan penghapusan denda bagi warga yang menunggak pajak kendaraan bermotor. Tujuannya pun terlihat mulia, yakni menertibkan administrasi, menumbuhkan kesadaran fiskal, sekaligus memperkuat pendapatan daerah.
Namun, di balik antrean panjang itu tersembunyi pertanyaan besar. Mengapa begitu banyak warga tidak mampu melunasi kewajibannya tepat waktu?
Jawabannya sebenarnya mudah ditebak. Biaya hidup naik jauh lebih cepat dibanding pendapatan. Harga kebutuhan pokok melonjak, upah tak bertambah, sementara pajak dan retribusi daerah terus menanjak.
Bagi banyak orang, pajak kendaraan bukan lagi kewajiban rutin, tetapi beban tambahan yang menggerus sisa nafkah. Dalam situasi seperti ini, program pemutihan bukan solusi, melainkan jeda sesaat dari sistem fiskal yang kehilangan arah.
Kebijakan Fiskal yang Tak Menyentuh Akar Masalah
Pajak kendaraan hanyalah satu dari sekian banyak instrumen fiskal yang menekan rakyat kecil. Di saat yang sama, perusahaan besar justru menikmati berbagai insentif dan pembebasan pajak atas nama “mendorong investasi”.
Laporan Kementerian Keuangan tahun 2024 mencatat, nilai pembebasan pajak bagi korporasi atau tax expenditure mencapai lebih dari Rp300 triliun per tahun. Bandingkan dengan program pemutihan pajak kendaraan yang nilainya jauh lebih kecil.
Para pekerja kecil yang membeli motor secara kredit, termasuk pengemudi ojek daring, tetap diwajibkan membayar pajak penuh. Sementara perusahaan tambang, perkebunan dan properti raksasa dapat menegosiasikan tarif pajaknya.
Inilah bentuk ketimpangan fiskal yang nyata. Rakyat bawah diperas, sementara yang di atas dimanjakan.
Digitalisasi Pajak, Modern di Atas Kertas, Lumpuh di Lapangan
Pemerintah kerap membanggakan digitalisasi pajak sebagai wujud kemudahan layanan. Namun, kenyataan di lapangan jauh dari ideal. Sistem sering error, jaringan lemah, serta warga di pedesaan tetap harus antre di kantor Samsat. Digitalisasi tanpa pemerataan infrastruktur hanyalah mempercantik ketimpangan dengan wajah teknologi.
Banyak masyarakat di pelosok tidak memiliki akses internet yang memadai. Mereka diwajibkan membayar pajak lewat aplikasi yang sulit digunakan. Akibatnya, pembayaran tertunda, lalu menunggak dan akhirnya terkena denda.
Saat kesempatan pemutihan dibuka, mereka berbondong-bondong datang, bukan karena enggan patuh, melainkan karena sistem membuat mereka gagal taat.
Pajak dan Wajah Kekuasaan
Discussion about this post