Jadi jika bukan gen atau pengaruh gen itu sangat kecil kemungkinannya, maka perilaku LGBT itu adalah pilihan, menurut seorang peneliti lebih karena pengaruh epigenetik. Masalah epigenetik itu berkaitan dengan lingkungan, asupan serta tumbuh kembang.
Bagaimana anak tumbuh, bagaimana nutrisi ibunya waktu hamil. Ketika bayi dalam perkembangannya, ada modifikasi kimia pada genom si bayi, apakah asupannya cukup atau tidak, apakah ibunya stress atau tidak. Maka seorang ibu dijaga ketika hamil, bukan hanya asupan gizi tapi psikologinya karena itu akan memengaruhi epigenetik.
Disinilah ranah manusia itu memilih sebab manusia dan hewan itu beda. Bagi hewan Allah SWT telah menakdirkan untuk tidak memiliki kemampuan memilih, tapi bagi manusia Allah memberikan potensi akal untuk memilih dan setiap pilihan manusia akan dipertanggungjawabkan di dunia maupun di akhirat.
Maka ketika memilih untuk jadi LGBT harus mampu untuk menanggung risikonya karena itu adalah keputusan yang telah diambil misal terserang penyakit kelamin HIV/AIDS atau bisa jadi tindakan kekerasan yang berujung pada pembunuhan yang sadis pada pasangan gay.
Betul bahwa setiap pergaulan bebas meski tidak menyimpang itu berisiko tertular penyakit kelamin begitupun kekerasan yang berujung pada pembunuhan juga bisa jadi terjadi pada setiap pasangan, atau mungkin juga kejadian demikian tidak akan terjadi pada pasangan LGBT sebab perkembangan sains dan teknologi memungkinkan hal demikian yakni risiko HIV/AIDS atau penyakit kelamin dapat dicegah.
Hanya saja risiko itu tetap selalu membayangi apalagi pasangan yang melakukan lewat anus tentu risikonya lebih tinggi. Begitupun pasangan gay itu biasanya bertindak sadis jika ada yang mengganggu pasangannya sebab faktanya dari beberapa kasus yang terjadi mencari pasangan gay itu cenderung sulit.
Terlepas dari semua itu dikembalikan lagi pada bagaimana seseorang memandang dunia. Jika dia meyakini bahwa hanya di dunia dan tidak ada hubungannya dengan Pencipta yakni hari pembalasan maka wajar kalau kemudian pola pikir dan perilakunya membentuk manusia yang bertindak bebas bahkan menyimpang.
Beda dengan orang yang berpikir bahwa semua perbuatan akan dipertanggungjawabkan di akhirat tentu akan mempertimbangkan konsekuensi logis dari apa yang diperbuatnya.
Lagi pula jika ditelisik lebih lanjut masalah LGBT bukanlah semata-mata persoalan cinta atau romantisme suami istri dari pasangan dengan orientasi seksual menyimpang, tetapi lebih kepada perlakuan hukum yang sama seperti pasangan suami istri yang normal. Misal, mengenai hak asuransi yang sama seperti pasangan lainnya atau masalah pemotongan pajak karena ada perbedaan jika single dan berumah tangga. Itu nampaknya yang terjadi di beberapa negara maju seperti Amerika.
Aktualisasi Cinta LGBT Harus Diperjuangkan?
LGBT bukan hanya terkait masalah lokal, nasional apalagi personal tapi merupakan gerakan global, dimana para pelakunya berusaha untuk mendapatkan penerimaan sosial, penerimaan politik bahkan penerimaan hukum.
Artinya, kaum dengan orientasi seksual menyimpang ini berusaha untuk melakukan kampanye di berbagai aspek melalui berbagai media agar masyarakat dunia memaklumi dan menerima orientasi seksual mereka sehingga hal itu menjadi lumrah di masyarakat dan tidak dianggap sebagai sebuah kemaksiatan apalagi kejahatan.
Apa yang mereka perjuangkan dari aspek penerimaan hukum sudah nampak di beberapa negara, pun dari segi politik di beberapa negara yang menduduki jabatan kekuasaan tidak sedikit dari orientasi seksual LGBT atau bahkan pejabat negaranya tidak sungkan lagi mendeklarasikan istrinya yang ternyata dari kaum LGBT.
Secara sosial pun sepertinya masyarakat sudah menurunkan kewaspadaannya bahkan dianggap sebagai sesuatu yang lucu dan menghibur laki-laki yang bergaya perempuan sebagai tontonan lawak di berbagai media, dijadikan podcast atau simbol-simbol serta emoticon dan itu hampir dianggap biasa oleh masyarakat.
Discussion about this post