Ramadhan sebagai bulan penempaan dan revitalisasi keagamaan dalam Islam paling tidak memiliki tiga dimensi. Pertama, dimensi spritual melalui penguatan keimanan yang hakiki pada tuhannya, dengan menjalankan segala ibadah semata-mata karena ketaatan dan penyerahan diri.
Kedua, dimensi intelektual melalui stimulasi pikiran-pikiran positif dan konstruktif, dimana orang yang berpuasa memang selalu ditekankan selalu membangun basis pengetahuan secara sehat dan positive aproach, yaitu suatu pendekatan yang mendahulukan stigma postif (husnu dzan) dibanding stigma negatif (suudzan).
Ketiga, dimensi sosial sebagai pengikat dan penyempurna ibadah puasa ramdhan, karena itu dipenghujung puasa kita ditekankan menunaikan zakat dan memupuk silaturrahmi pada sesama.
Dengan demikian, Jika ditelaah lebih dalam, Ramdhanlah yang mampu mengikat keragaman ekspresi dan aktualisasi keberagamaan setiap orang. Orang yang sejatinya mengaktualisasikan nilai-nilai ramdhan secara menyeluruh tidak ada lagi sekat antara kelompok orang yang hanya menekankan pada praktek dan dimensi tertentu dalam ke-Islaman kita.
Ketegangan sosial, ujaran kebencian, aksi bullyng, saling mencaci sesama, bahkan menyakiti secara fisik, terhadap kelompok yang berbeda dalam mengekpresikan keberagamaannya mestinya tidak terjadi, karena kerap kali diulas bahwa tindakan-tindakan seperti itu dapat menghilangkan nilai dan pahala puasa.
Pertanyaannya, apakah aktualisasi nilai-nilai Ramdhan seperti itu hanya berlaku pada bulan Ramadhan? Jawabannya tentunya tidak. Itulah sebabnya Tuhan menghadirkan satu tahun dalam 12 bulan sebagai wadah menempaan dan revitalisai ke-imanan secara menyeluruh.
Tak terasa Ramadhan akan berakhir. Namun bukan berarti pasca Ramadhan kita kembali bebas melakukan tindakan yang bertentangan dengan keharmonisan sosial.
Discussion about this post