Oleh: Rusdianto Samawa
Tahun 2019–2022 lalu, saya menulis puluhan artikel dan berita tentang “Anomali Garam Indonesia.” Problem impor yang tak kunjung berhenti. Pemerintah selalu saja buka keran impor garam. Alibinya, untuk memenuhi pasokan kebutuhan garam dalam negeri. Pemerintah tak pernah bicara hasil riset kadar NaCl garam. Selalu lupa jumlah petani garam Indonesia lebih dari satu juta kepala keluarga.
Pada 19 Desember 2022 lalu. Kementerian Kelautan dan Perikanan meresmikan sekaligus menyerahkan rumah garam prisma kepada Koperasi Terang dan Garam Indonesia di Pulau Legundi, Lampung. Bantuan ini sebagai upaya mendorong peningkatkan produksi garam premium dalam rangka Pengembangan Usaha Garam Rakyat (PUGaR).
Sejak kemerdekaan NKRI, petani garam selalu malang melintang nasibnya. Kena tuduhan NaCl-nya dibawah produk garam negara lain. Begitu lemahnya pemerintah melihat sisi positif garam Indonesia. Dari periode menteri bergantian, Rumah Garam Prisma selalu jadi senjata andalan pemerintah. Alasannya, untuk menampung garam.
Padahal Rumah Prisma, bisa jadi isinya garam impor. Karena selama berdiri dan kampanye program Rumah Prisma tidak membuat petani garam terangkat harkat dan martabatnya. Artinya tetap miskin. Indonesia yang mendekati umur 80 tahun, mestinya sudah capai target garam terbaik di dunia. Selama ini, belum memiliki desain pengembangan industri garam nasional sehingga ambil solusi import.
Kasus korupsi impor garam sejumlah 12 ribu triliun lebih kurun waktu 8 tahun ini, membuka kebobrokan negara atas kejahatan oligarki. Tentu jelas, dampak paling besar bagi petani garam.
Sekian puluh tahun Indonesia merdeka, garam selalu melimpah. Namun, selalu beralasan merendahkan hasil petani garam. Seharusnya negara merdeka berupaya menyusun strategi komprehensif dan peta jalan swasembada garam agar Indonesia tidak lagi berada pada jalur impor. Perlu ingat, petani garam Indonesia terseok–terseok. Kehidupan sosial ekonomi dan pasar garam tidak menentu. Akibat kebijakan impor yang dominasi terhadap pasar industri dan lokal. Mau kemana garam Indonesia?.
Kebijakan impor merupakan kedunguan struktural yang sifatnya reaktif jangka pendek. Sementara garam Indonesia dianeksasi dengan isu–isu kekurangan kadar kualitas. Kalau pemerintah tidak memiliki rencana strategi, maka impor terus berulang. Ketidakpastian pemerintah terhadap potensi garam membuat negara ini, kehilangan kedaulatan.
Kekurangan pemerintah tidak pernah survei jumlah produksi garam nasional yang berasal dari petani. Apalagi Badan Pusat Statistik (BPS) tidak memiliki data valid sebagai dasar penetapan hitungan jumlah ton garam. Lebih kacau lagi, pemerintah sama sekali tidak memiliki data valid terkait kebutuhan garam untuk pasar dalam negeri.
Hal ini penting agar menjadi perhatian sehingga bisa pertimbangkan kesejahteraan para petani garam yang diperhatikan secara maksimal. Petani garam selalu dibayangi impor yang tak terduga. Nasionalisme garam tergadai oleh kebutuhan industri yang dipilih dari luar. Industri tak punya standar nasionalisme bisnis dengan melihat potensi yang dimiliki petani garam. Apa salahnya, garam nasional diupayakan pada perbaikan infrastruktur produksi sehingga kualitas dan nilainya seimbang.
Pemerintah minus strategi, tidak memiliki standar regulasi terhadap kuota kebutuhan garam yang berdampak pada meningkatkan impor setiap tahun. Apa artinya garam nasional dengan luas lahan garam jutaan hektar. Pemerintah terkesan membiarkan impor banjiri pasar–pasar lokal dan nasional. Akibatnya, tidak ada target pengurangan impor dari tahun ke tahun. Target kebijakan produksi untuk capai swasembada pun hanya sebatas pengumuman di media massa sebagai cara menutupi kekurangan pemerintah sendiri.
Bila pemerintah mengerti cabang–cabang produksi garam, mulai dari kebutuhan rumah tangga, pelaut, kapal ikan, industri pengolahan, pakan ternak, hingga ekspor. Mestinya garam Indonesia sejak merdeka paling tinggi kualitasnya.
Pada musim covid-2019 lalu, jika pemerintah mau mengganti pencegahan terpapar covid, maka vaksin bisa dikurangi dengan formula garam nasional. Karena itu, sudah semestinya dijadikan momentum untuk meningkatkan produksi garam nasional secara lebih komprehensif dan terukur yang melibatkan seluruh petani (produsen) garam.
Pemerintah juga perlu memperbaiki tata niaga garam yang berpihak kepada petani garam dan industri dalam negeri. Selama ini, industrialisasi pergaraman hanya sebatas kampanye program. Belum menjadi visi bersama untuk mencapainya. Bahkan, kerap terjadi perdebatan yang alot antar pemerintah Daerah (dinas-dinas), Provinsi (dinas-dinas), dan Pusat (Kementerian) terkait data–data valid. Begitu pun Badan Pusat Statistik (BPS) tak pernah bisa memastikan data produksi garam setiap tahun.
Mengapa hal ini terjadi? karena: pertama, pemerintah tidak memiliki standar pengawalan kebijakan secara serius terhadap pola produksi petani garam; Kedua, terlalu lembek pada kemauan industri dan oligarki sehingga cenderung mengikuti keinginan importir; Ketiga, lemahnya jaminan infrastruktur dasar pengolahan garam untuk petani–petani; Keempat, pemerintah selalu beralasan tidak bisa mengurangi kadar air dan NaCl agar impor bisa dilakukan serta mendapat legitimasi DPR maupun publik luas.
Ada banyak alasan pemerintah ungkapkan kepada petani garam Indonesia, agar bisa meyakinkan bahwa impor garam itu sangat urgent sekali. Padahal tidak semestinya melakukan impor garam. Masih banyak cara lain untuk mengatasi krisis garam nasional yang tengah terjadi saat ini.
Discussion about this post