<strong>Oleh: Rusdianto Samawa</strong> Industri maritim, kelautan dan perikanan sedang dalam masalah besar saat ini. Arah pembangunan ekonomi dan industrialisasi sudah dicanangkan pada visi poros maritim jilid pertama, periode Joko Widodo tahun 2014-2019. Namun, visi selama 9 tahun berjalan mandeg alias buntu. Dimana-masa 9 tahun ini, industrialisasi kelautan dan perikanan terseok-seok. Ibarat kata "Berlari Ditengah Lumpur". Walaupun komitmen maritim telah diangkat ke panggung dunia politik. Ternyata itu bualan belaka. Tak jauh beda dulu dan sekarang. Cuma gaung poros maritim untuk menarik investasi global dalam pembiayaan infrastruktur. Bayangkan kalau berlari ditengah lumpur, betapa capek, berat dan mandeg. Tentu jelas visi poros maritim gagal total dan wacana empuk saja dalam menarik utang pemerintah yang sangat tinggi. Gagalnya poros maritim itu, karena platform akselerasi kebijakan antara pusat dan daerah tidak linier. Kebijakan maritim berkisar pada investasi. Tak ada kolaborasi masyarakat pesisir dengan pemerintah sehingga sangat paradoks diantara banyak cita-cita yang ingin dicapai. Bahkan pulau-pulau kecil terjual kepada asing. Mudah sekali tergadai. Padahal poros maritim untuk bangkitkan kedaulatan wilayah Indonesia yang luasnya sangat-sangat luas wilayah lautnya dibandingkan daratan. Padahal, keyakinan besar pemerintah pada periode pertama adalah pembangunan industri maritim, kelautan dan perikanan sebagai jalan keluar dalam mengatasi kendala pengembangan ekonomi dan industri perikanan di dalam negeri. Bahkan, pemerintah pusat dan daerah didorong lebih cepat laksanakan Keputusan Presiden No. 7 Tahun 2016 tentang percepatan pembangunan maritim, industri kelautan dan perikanan. Namun tetap gagal. Karena, selama ini pengembangannya banyak kendala dan buntu pada level kebijakan. Kendala itu meliputi pasokan bahan baku, infrastruktur, suplay change, sarana dan prasarana, serta kebijakan dan peraturan. Misalnya saja pada tingkat utilisasi industri pengolahan ikan masih di bawah 40 persen. Padahal penting untuk dilakukan harmonisasi agar segera bangkit dan berdampak baik pada kesejahteraan masyarakat pesisir. <strong>Visi Misi Anies: Ekonomi, Kesejahteraan dan Bayar Utang Negara</strong> Berdasarkan kajian diatas, diperlukan optimalisasi Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN) sehingga pasokan bahan baku dan harganya bisa stabil. Wilayah Maluku, Bitung, Bali, Jakarta, Surabaya dan Kalimantan yang memiliki SLIN. Sementara daerah lain, belum ada. Tentu konsep dan gagasan visi misi Anies Baswedan agar ada keseimbangan bagi daerah sehingga keadilan dan kesejahteraan masyarakat bisa dihadirkan. Kebutuhan SLIN bagi daerah lain, perlu diterapkan seperti Nusa Tenggara (NTB-NTT) dan kepulauan Sumatera. Mestinya, SLIN mengikuti lima selat yang dimiliki Indonesia yakni Selat Sunda, Selat Malaka, Selat Karimata, Selat Lombok dan Selat Madura. Kelima Selat ini merupakan arus kapal-kapal logistik nasional. Kalau kelima selat itu bisa "Dipagar" atau "Payment Cash", maka ini sebenarnya pelaksanaan kebijakan maritim Indonesia. Apabila komitmen visi misi Anies Baswedan bisa terlaksana, Indonesia akan berdaulat, adil dan makmur. Bayangkan saja, kalau kelima selat itu dipagar. Maka seluruh kapal-kapal cargo akan payment cash ke negara. Tentu cara memagarinya dengan membuat peraturan SLIN secara ketat. Visi misi pasangan AMIIN ini, membuat pegiat maritim, kelautan dan perikanan sangat optimistis. Karena dari SLIN itu bisa muncul kebangkitan baru dunia maritim, industri perikanan, ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Sala satu problem besar ekonomi masyarakat pesisir tidak tumbuh adalah panjangnya mekanisme distribusi hasil kegiatannya. Karena SLIN yang membuat ketimpangan itu nyata, tidak merata pada kelima selat, seperti wilayah Nusa Tenggara (NTB-NTT-Bali-Sumatera). Para nelayan, pengusaha, juragan dan industri harus melewati Bali atau Surabaya untuk bisa ekspor (distribusi) dan/atau penjualan ke pasar luar negeri. Persoalan sekarang, masyarakat tak dapat menjual langsung ke pasar-pasar lokal, regional maupun ekspor luar negeri. Akibat ketimpangan pemberlakuan SLIN yang tidak merata. Padahal potensi 10-15 tahun kedepan, tantangannya sangat berat. Bukan saja ada ekspor hasil laut tetapi juga soal ketertiban, kesejahteraan dan keamanan maritim Indonesia. Lagi pula, memagari laut tentu berdampak besar pada: pertama, royalti cash kapal cargo logistik yang masuk pada kas negara, misalnya diberlakukan 2 dollar per ton atau 500 rupiah perKg. Silahkan dihitung uangnya, kira-kira berapa hasilnya. Kalau kapal cargo itu bermuatan 5 juta ton. Hasilnya payment cash pajak tentu sangat mengagetkan, bukan?. Apalagi kapal cargo melewati kelima selat Indonesia itu setiap hari berjumlah ribuan. Kedua, pemberlakuan SLIN dapat menjamin keadilan masyarakat pesisir karena bisa direct langsung penjualan hasil kegiatan penangkapan ikan. Tentu, pengusaha akan gembira dengan sistem ini. Hal ini berdampak besar pada penunjang kesejahteraan ekonomi masyarakat. Ketiga, memagari laut tentu bisa membayar hutang negara. Konon, utang negara capai 8000 triliun. Belum lagi utang swasta. Kalau kelima selat itu difungsikan sebagai kebangkitan negara berdaulat, maka Indonesia akan panen hasil. Dari hasil memagari laut itu, mungkin saja sebulan atau dua bulan bisa bayar hutang. Mengapa? Hal ini semacam memaksa kapal-kapal cargo asing untuk membayar. Selama ini gratis melewati kelima selat Indonesia. Kalau kapal cargo asing tak mau bayar, mereka harus berlayar memutari dunia atau dua benua sekaligus. Keempat, sekarang ini trend hasil tangkapan nelayan berupa udang, ikan, lobster dan kepiting yang kategori ekspor sangat bagus. Selain itu, ada industri perikanan yang sudah advance di pasar ekspor pada bidang processed food (produk olahan). Tetapi sekarang industri itu malah mengalami penurunan produksi. Maka untuk optimalnya, harus diatur agar memenuhi rasa keadilan dan kemakmuran. Kelima, tentu pemerintah daerah (provinsi, kab/kota dan desa) akan mendapat hasil dari sistem SLIN ini, karena semua pendapatan pajak dan retribusi sektor maritim, kelautan dan perikanan akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. <strong>Anies Baswedan Mendorong Pertumbuhan dan Pemerataan</strong> Saat ini penting untuk mendorong pertumbuhan dan pemerataan yang berorientasi pada hasil kelautan dan perikanan. Untuk permudah hal itu, Anies Baswedan komitmen pada agenda penataan sistem yang bisa mengisi dan melengkapi seluruh regulasi sebelumnya yang dianggap lemah, seperti pola investasi kelautan - perikanan, koperasi masyarakat dan stakeholders. Syarat utama industrialisasi kelautan dan perikanan tidak berkembang karena diserahkan semua potensi usaha kepada oligarki. Jadi, kebijakan pemerintah satu paket dengan pengusaha (bergandeng). Mestinya, kebijakan itu satu paket dengan stakeholder seperti organisasi nelayan dan koperasi. Paket kebijakan kedepan, harus berjalan bersama antara pemerintah, koperasi dan masyarakat pesisir agar pembangunan dan pemerataan dapat dirasakan semuanya. Selama ini, kebijakan gandeng oligarki sehingga hasilnya tidak dirasakan langsung oleh masyarakat. Itulah penyebab nirjustice yang terjadi. Kesejahteraan mandeg. Optimistis pada visi misi pasangan AMIN (Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar) yang maju pada pilpres 2024 ini dapat kita rasakan manfaatnya, bahwa pertumbuhan dan pemerataan mampu tumbuh secara signifikan. Karena Indonesia memiliki potensi besar di sektor maritim, kelautan dan perikanan yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber kesejahteraan masyarakat.(<strong>***)</strong> <strong>Penulis: Fourbest, Lembaga Kajian, Riset dan Kebijakan Publik</strong> <strong>Jangan lewatkan video populer:</strong> https://youtu.be/7IVGIZoAQa0?si=XK0rWq5umdjVqrK3
Discussion about this post