Ketiga, jika Muhaimin Iskandar ingin menang, maka PKB bisa memindahkan dukungan ke koalisi Perubahan dan Perbaikan. Artinya pasangan Anies-Muhaimin pemenangnya. Sekalipun, melawan Prabowo-Gibran (Erick Tohir) dan Ganjar-Sandiaga (AHY).
Kemudian, jika ingin Pilpres satu putaran saja. Sebaiknya, PDIP gabung menawarkan Ganjar menjadi cawapres Anies Baswedan. Pasangan Anies-Ganjar, perkirakan satu putaran. Tetapi, pasangan ini sulit terjadi. Mimpi siang bolong kalau memang PDIP gabung ke koalisi perubahan tanpa syarat. Sudah tertutup pintu. Anies sudah memilih Cak Imin.
Jika terjadi demikian, apa nilai positifnya. Partai Demokrat, PKB, Partai Ummat, dan PKS tetap dalam koalisi perubahan. Karena, hubungan kelembagaan partai maupun hubungan tokoh sentral partai koalisi perubahan sudah kuat secara emosional dan kekeluargaan. Silaturahmi sering dilakukan.
Jika Partai Demokrat bergabung ke koalisi PDIP, menggusung Ganjar-AHY, maka harus menerima kekalahan. Walaupun sebagian besar instrumen dimainkan. Tetap melambat dan tidak ada kemajuan. Mengapa demikian, hubungan emosional antara Ganjar dan AHY belum terbangun secara baik. Begitu juga, hubungan komunikasi tokoh sentral kedua partai yakni Megawati dan SBY juga belum ada pertemuan intensif. Sulit terjadi koalisi PDIP-Demokrat. Walaupun sudah terjalin komunikasi sebelumnya.
Kalau ingin partai Demokrat menang, maka bertahan lah dalam koalisi perubahan. Jangan keluar. Walaupun keputusan pahit itu diterima dengan pasangan Anies-Muhaimin. Tak ada sistem demokrasi satu partai banyak capres. Bertahan lah kalau ingin menang.
So, pasti ada pertimbangan berat di PKB, yakni kalau bergabung koalisi dengan PDIP pasangan Ganjar-Muhaimin tetap akan menerima kekalahan. Kekuatan politik NU terbagi. Namun, porsinya lebih besar ke Anies Baswedan.
Realitas politik Nahdliyin objektif, melihat Anies Baswedan sebagai sosok yang paling besar kontribusinya pada legalitas aset-aset pesantren maupun amal usaha NU di DKI Jakarta. Tentu, harapannya se Indonesia saat menjadi Presiden. Sebaliknya, melihat Prabowo dan Ganjar hanya sebagai pajangan kontestan semata.
Sementara, kekuatan oposisi dan kritikus sejati, ada pada capres Anies-Muhaimin. Oposisi yang berada di kubu Prabowo akan pindah dukungan. Apabila Prabowo memilih Gibran (Erick Tohir) sebagai cawapres. Tak mungkin oposisi kritikus memilih dukung Prabowo (Gerindra) dan Ganjar (PDIP) karena kedua capres bersama partainya telah berusaha menutup letupan kritik oposisi.
Bagaimana kekuatan diluar episentrum pergulatan politik itu, seperti warga Muhammadiyah. Ya, diketahui jauh hari, kekuatan politik warga Muhammadiyah lebih cair. Namun, porsinya lebih besar memihak pada Anies Baswedan. Karena Partai Ummat telah utuh memberi dukungan pada Anies Baswedan. Selain dukungan, emosional-spritualitas Anies Baswedan lebih dekat pada semuanya, terutama tokoh-tokoh Muhammadiyah.
Apa indikator, bahwa Partai Ummat lebih kuat dibanding PAN, yakni spirit Amar Makruf Nahi Mungkar, melakukan kebaikan melawan kemungkaran rezim. Tentu, kekuatan politik Partai Ummat bersumber pada dua hal yakni migrasi kader PAN ke Partai Ummat dan Angkatan Muda Muhammadiyah dan/atau warga Muhammadiyah di seluruh Indonesia, sudah mutlak ke Anies Baswedan.
Begitu juga kekuatan politik lainnya, seperti kiyai, ustaz, pendeta maupun aktivis muda lintas agama. Hampir semua mendukung Anies Baswedan. Kecuali kaum muda yang memiliki koneksitas dengan taipan-taipan, pasti tak mendukung Anies Baswedan. Mereka akan mendukung Prabowo. Karena taipan-taipan tersebut, berkiblat menjaga rezim saat ini untuk kelangsungan bisnisnya.(***)
Penulis adalah Kritikus
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post