Kedua, ketika kepemimpinannya PPP Sultra beralih ke ASR, partai itu ibarat kapal yang sedang karam. Performa organisasi partai itu tidak baik-baik saja sebelumnya. Belum lagi peralihan kepemimpinan yang tetap menyisakan residu konflik internal. ASR tak punya cukup waktu pula untuk membenahi partai, karena hanya tersisa waktu 8 bulan menjelang pemilu.
ASR menghadapi dilema antara membenahi partai di satu sisi, dengan kebutuhan mengisi daftar caleg partai yang sudah dateline. Untuk membenahi partai, tombol filter harus diaktifkan, untuk menyeleksi kader terbaik. Namun untuk memenuhi kuota caleg, kadang tombol filter harus dinonaktifkan.
Konsekuensinya pemilihan caleg-caleg untuk bertarung di level kabupaten, provinsi dan nasional tak bisa diverifikasi secara komprehensif. Di level nasional, PPP tak punya pendulang suara signifkan selain ASR. Di level provinsi, misalnya kita mengambil contoh Dapil Sultra 5 (Kolaka, Koltim, dan Kolut).
Suara personal ASR saja di dapil tersebut sebesar 23.120 suara. Sementara suara dukungan semua caleg dan PPP untuk DPRD Provinsi dapil Kolaka raya tersebut hanya sebesar 16.649 suara. Artinya ada disparitas suara antara caleg nasional dengan caleg level dibawahnya.
Ketiga, tak bisa dipungkiri ada efek pilpres terhadap perolehan suara di Sultra. Secara nasional PPP adalah partai koalisi pendukung Ganjar-Mahfud. Data rekap KPUD Sultra menunjukan bahwa Prabowo-Gibran menang telak di Sultra. Prabowo-Gibran memperoleh suara sebesar 71.11 % suara. Sementara Ganjar-Mahfud hanya memperoleh 5.79 % suara. Dalam pilpres dan pileg serentak, ada istilahnya coattail effect, atau efek ekor jas.
Dimana biasanya partai koalisi capres tertentu memperoleh efek dukungan dari pemilih yang memilih capres dari koalisi tersebut. Di Sultra, Gerindra memperoleh efek positif kemenangan telak Prabowo. Gerindra memperoleh 233.478 suara,dan menjadi pemenang pemilu nasional di Sultra.
Perolehan suara Gerindra naik jauh dari pemilu 2019 yang hanya 151.872 suara. Sementara PDIP mengalami penurunan suara jika dibandingkan dengan pemilu 2019. Pada pemilu 2019, PDIP memperoleh 183.197 suara, sementara pada pemilu 2024, suara PDIP turun menjadi 175.830 suara. Ada efek ekor jas negatif yang dialami PDIP di Sultra. PPP sendiri sebenarnya mengalami peningkatan suara jika dibandingkan dengan pemilu sebelumnya.
Pada pemilu 2019, PPP hanya memperoleh 65.284 suara dan mengalami kenaikan pada pemilu 2024 menjadi 118.350 suara. Sudah pasti kenaikan PPP ini lebih karena kontribusi suara dukungan terhadap ASR. PPP tak bisa mendulang suara lebih besar karena efek negatif ekor jas dukungan terhadap Ganjar-Mahfud yang kalah telak di Sultra.
***
Dengan statusnya sebagai tokoh baru, meskipun gagal mengantarkan PPP memperoleh kursi dari dapil Sultra, namun perolehan suara yang diraih oleh ASR menjadi “penanda politik” dalam panggung politik Sultra dan ibarat menjadi New Kids On The Block bagi para tokoh lama politik Sultra. Lebih jauh, saya ingin mengatakan bahwa meski gagal sebagai caleg, pesona ASR sebagai cagub tetap kokoh.
Discussion about this post