Oleh: Rusdianto Samawa
Pasangan AMIN (Anies-Gus Imin), menetapkan program dalam visi misinya. Program ini, sudah lama. Bukan sesuatu yang baru. Namun, bagi pasangan AMIN harus ada perbaikan pelayanan cepat, tanggap dan sifatnya darurat.
Setelah melakukan dialog “Desak Anies” diberbagai pesisir atau sentra aktivitas nelayan seperti Banyuwangi, Lamongan, Kepulauan Riau, Banjarmasin, dan lainnya, pasangan AMIN menerima desakan nelayan untuk perbaiki dan permudah proses pengurusan izin kapal nelayan.
Pasangan AMIN melihat ada kesulitan pengurusan izin, setelah UU Omnibuslaw berlaku. Regulasi tersebut, pengurusan izin terpusat, mulai dari kapal nelayan tradisional hingga fishing industry.
Pengurusan izin kapal perikanan merupakan produk hukum dan kebijakan bidang perikanan tangkap yang membawa keuntungan ekonomi bagi stakeholders perikanan, baik nelayan, ABK, industri olahan, UPI-UPI, buruh nelayan, pekerja industri, pengusaha, hingga ibu-ibu rumah tangga nelayan.
Dalam proses pengurusan izin Pengganti Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Laik Operasi (SLO), Pungutan Hasil Perikanan (PHP) dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) banyak hal yang sangat perlu dipertanyakan. Selama ini, belum terbuka. Masih saling tertutup. Karena pengurusan izin itu bagian empuk dari pendapatan para mafia pengurusan izin kapal nelayan.
Kedepan, pasangan AMIN anggap sangat urgen dan penting transparansi, kredibilitas dan tanggung jawab negara terhadap pengurusan izin kapal nelayan. Maka aktivitas pengurusan, pembuatan dan perpanjangan izin bagi kapal nelayan tidak ditemukan kejanggalan, sebagaimana selama ini terjadi.
Seluruh lembaga penegak hukum seperti kejaksaan, kepolisian, TNIAL dan KPK harus melakukan pengawasan yang ketat. Penting, penegak hukum melakukan upaya pencegahan terhadap aktivitas transaksi pengurusan perizinan ilegal di sektor kelautan dan perikanan.
Pasangan AMIN menilai seluruh proses pengurusan izin sangat makan waktu lama, jadi permainan mafia. Mulai dari prosedur syarat, metode pembayaran, dokumen dan jumlah bayar yang tidak normal. Terutama pelanggaran dalam proses penetapan jumlah PNBP yang tidak sesuai dengan UU Perikanan dan Kelautan No. 45/2009 tentang perubahan atas UU No. 31/2004 tentang Perikanan.
Sala satu pekerjaan besar pasangan AMIN yakni merubah dan/atau batalkan UU Omnibuslaw yang merupakan pemicu amburadulnya pengurusan izin maupun koordinasi antar kementerian serta lembaga negara.
Misalnya, nelayan (pemilik kapal) mengurus dokumen sangat banyak, mulai syarat dari rekomendasi kepala desa, syahbandar, kepolisian, hingga dinas perhubungan yang terbelit-belit sekali. Kurun waktu 10 tahun ini, nelayan mengeluh proses perizinan yang panjang dan penuh sarang mafia.
Padahal, ketentuan UU 45 tahun 2009 Pasal 27 ayat 3 dan 5 sangat jelas memberikan batasan. Pada ayat 3 berbunyi: Setiap orang yang operasikan kapal penangkap ikan, baik nelayan lokal maupun kapal-kapal industri di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing di ZEE wajib membawa SIPI asli.
Pada Ayat 5 berbunyi: Kewajiban memiliki SIPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau membawa SIPI asli sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak berlaku bagi nelayan kecil. Sementara Pasal 28A, yang berbunyi bahwa setiap orang dilarang: a). memalsukan SIUP, SIPI, dan SIKPI; dan/atau: b). menggunakan SIUP, SIPI, dan SIKPI palsu.
Untuk pertegas aturan undang-undang tersebut maka peran dan tanggung jawab Kementerian Kelautan – Perikanan dan Kementerian Perhubungan dijelaskan pada Pasal 32 berbunyi bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai penerbitan, tata cara, dan syarat-syarat pemberian SIUP, SIPI, dan SIKPI diatur dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.
Data dari lapangan di Kota Tegal, Madura, Banyuwangi, Kalimantan, Bengkulu, Sulawesi Selatan, Kaltara dan Pulau Sumbawa dalam beberapa hari ini sudah mulai terkuak adanya dugaan perlambat, persulit dokumen hingga kesalahan dalam proses pengurusan, seperti syarat-syarat dokumen menggunakan ketentuan alat tangkap. Padahal, standar alat tangkap satu paket perizinannya dengan kapal sebagai bagian dari peralatan melaut bagi nelayan.
Saat pengurusan izin, banyak nelayan mengeluhkan sistem izin saat ini. Sulit pengurusan karena nelayan tak mau bayar pundi-pundi mafia. Kalau mudah, bayarannya harus tinggi. Modus-modus mafia model seperti harus segera dikerangkeng dan ditangkap oleh penegak hukum.
Pasangan AMIN kedepan harus menciptakan nomenklatur program pengurusan izin seperti Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (Samsat). Kehadiran sistem Samsat perizinan kapal ini nanti, untuk tingkatkan layanan izin para nelayan sehingga mudah, dekat, dan meningkatkan kualitas untuk kemaslahatan dan kebaikan bersama.
Tetapi, kenyataannya, pelayanan publik pada perizinan kapal perikanan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah dan pusat masih belum memenuhi azas tersebut. Maka, pasangan AMIN mendasarkan kebijakan kedepan, pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Pasal 4 (poin l), pelayanan publik harus berazaskan kecepatan, kemudahan dan keterjangkauan.
Mengingat proses perizinan masih membutuhkan waktu lama, proses yang tidak sederhana dan multisektor, serta relatif jauh (akses) dari keterjangkauan masyarakat yang ingin memanfaatkan perizinan kapal perikanan, khususnya nelayan kecil, maka sistem Samsat Perizinan Kapal Perikanan untuk memudahkan nelayan adalah desakan dari nelayan.
Pelayanan perizinan tentu memperhatikan ukuran kapal tangkap dan kapal pengangkut ikan yang selama ini efektif untuk mensuplay bahan baku UPI-UPI. Pelayanan pemerintah ini bertujuan memberi kesempatan berusaha yang sama bagi nelayan kecil.
Selain itu, transaksi pembayaran atas perizinan juga banyak dugaan-dugaan yang tidak ditujukan untuk kas pendapatan negara alias pungutan luar. Karena pola dan sistem pembayaran yang diragukan itu, misalnya Peraturan SLO dan SIPI dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Sementara jumlah PNBP, metode dan syarat pembayaran dikeluarkan Kementerian Keuangan.
Discussion about this post