Dalam kesempatan ini, Ketua Bawaslu Rahmat pun menyoroti TPS yang tempatnya berdekatan dengan markas tim pemenangan peserta pemilu yang jumlahnya mencapai 21.947 TPS. Menurutnya, jika sebuah TPS berdekatan dengan tempat tim pemenangan salah satu paslon maka hal itu berpotensi terjadinya ajakan atau mobilisasi massa yang mengganggu jalannya proses pemungutan suara.
“Tapi apakah dilarang? Tidak. Tapi dianjurkan lebih baik jauh dari rumah tim pemenangan dan lain-lain, tapi kalaupun sudah demikian maka harus ada perhatian khusus dari teman-teman pengawas dan juga pemantau, juga masyarakat agar menjaga kondusifitas dan juga (mencegah terjadinya) pelanggaran, adanya mobilisasi dan lain-lain,” jelasnya.
Peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Ihsan Maulana, menuturkan sebenarnya kerawanan di TPS ini sudah terjadi di pemilu-pemilu sebelumnya. Namun, yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah permasalahan kerawanan tersebut sudah dimitigasi dengan baik atau tidak oleh penyelenggara dan pengawas pemilu.
Ia mencontohkan TPS yang tempatnya berdekatan dengan markas dari tim pemenangan peserta pemilu. Bagaimana KPU dan Bawaslu mengatasi permasalahan tersebut.
“Saya ingat betul di Pilkada 2020 dan juga Pemilu 2019 ada beberapa TPS yang terpaksa harus digeser karena saling berdekatan antara tim pemenangan yang satu dengan yang lain. Apa yang dilakukan oleh KPU dan Bawaslu? Jangan-jangan pemetaan TPS yang mereka lakukan untuk 2024 tidak berubah dari mitigasi permasalahan yang sudah dipetakan itu. Ini yang harusnya dijawab,” ungkap Ihsan.
Ia menekankan, ke depan harus diatur dalam UU Pemilu terkait TPS yang berdekatan dengan markas tim pemenangan pemilu. Menurutnya, hal ini sangat penting demi kelancaran jalannya pesta demokrasi.
“Potensi kerawanan yang tadi misalnya mendirikan TPS di dekat tempat tim pemenangan, kalau baca regulasinya tidak dilarang, tapi karena ada potensi kerawanan itu makanya kenapa harus diatur. Ini sama persis misalnya dengan kampanye di medsos, kenapa akhirnya akun medsos peserta pemilu harus dibatasi, karena ada kekhawatiran akan menyebarkan informasi yang tidak benar. makanya kenapa dibatasi,” tutur Ihsan.
“Jadi tidak semuanya harus ada plek diatur secara rigid boleh tidaknya di dalam UU pemilu. Jadi di sanalah sebetulnya inisiatif, progresivitas penyelenggara pemilu kita diuji. Mereka bisa enggak mengatur hal-hal yang sebetulnya tidak diatur di dalam UU pemilu, kemudian mereka bisa menyesuaikan dengan perkembangan zaman yang terjadi di Pemilu 2024,” pungkasnya.
Sumber: voaindonesia
Editor: Ridho Achmed
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post