Pemerintah juga menyalurkan insentif Rp2,1 juta per guru non-ASN selama tujuh bulan di pertengahan 2025. Di sisi lain, Dana Alokasi Khusus (DAK) Nonfisik senilai Rp70 triliun diperuntukkan bagi guru ASN melalui tiga skema besar:
1️⃣ Tunjangan Profesi Guru (TPG) bagi 1,52 juta guru,
2️⃣ Dana Tambahan Penghasilan (DTP) bagi 332 ribu guru, dan
3️⃣ Tunjangan Khusus Guru (TKG) bagi 62 ribu guru yang bertugas di daerah tertinggal.
Kesejahteraan yang meningkat ini menciptakan efek nyata. Guru kini lebih aktif mengikuti pelatihan daring, mengembangkan media ajar digital, dan menerapkan pendekatan project-based learning di kelas. Guru yang sejahtera adalah guru yang berdaya, dan guru yang berdaya melahirkan murid yang percaya diri.
Dari sisi peserta didik, pemerintah memperkuat kebijakan afirmatif. Melalui Program Indonesia Pintar (PIP), sebanyak 18,5 juta siswa mendapat bantuan pendidikan dengan pagu Rp13,5 triliun. Di saat yang sama, Beasiswa Afirmasi Pendidikan Menengah (ADEM) menyalurkan dana Rp127 miliar untuk 4.679 siswa dari wilayah 3T dan daerah konflik.
Tak berhenti di situ, Program Bantuan Operasional Satuan Pendidikan (BOSP) menyalurkan Rp59,3 triliun kepada 422 ribu sekolah dan lebih dari 50 juta peserta didik. Dana ini memastikan sekolah bisa berjalan tanpa bergantung pada iuran orang tua—dari listrik, buku, hingga kegiatan ekstrakurikuler.
Hasilnya mulai terlihat di lapangan. Laporan survei Katadata Insight Center (2025) menunjukkan 80% masyarakat kini mengenal Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB), dengan 88% menilai sistem ini lebih baik dibanding PPDB lama dan 90% menyatakan sesuai harapan.
Menariknya, 91,1% responden menilai SPMB memperbaiki pemerataan akses pendidikan, sementara 94% percaya sistem ini memberi kesempatan lebih besar bagi siswa dari keluarga tidak mampu maupun penyandang disabilitas. Data ini menunjukkan satu tren penting: pendidikan Indonesia kini semakin inklusif dan berkeadilan sosial.
Sekolah bukan lagi simbol ketimpangan, melainkan ruang bersama tempat setiap anak—tanpa melihat latar belakang—memiliki peluang yang sama untuk maju.
Menumbuhkan Karakter, Menyemai Harapan
Kemajuan pendidikan tidak hanya diukur dari gedung yang berdiri atau anggaran yang terserap. Di balik semua capaian struktural, ada fondasi yang lebih dalam: karakter. Sebab pendidikan sejati bukan hanya mengajarkan ilmu, tapi membentuk manusia.
Pemerintah memahami hal itu dengan meluncurkan program “7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat”—gerakan sederhana namun berdampak luas. Mulai dari bangun pagi, beribadah, berolahraga, makan sehat, gemar belajar, bermasyarakat, hingga tidur tepat waktu—semuanya dirancang untuk menanamkan disiplin, kepedulian, dan tanggung jawab sosial sejak dini.
Program ini kini diterapkan di ribuan sekolah dasar, PAUD, dan SLB di seluruh Indonesia. Menurut data Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar (2025), 72% sekolah pelaksana melaporkan peningkatan kehadiran siswa dan kedisiplinan guru setelah program ini berjalan.
Ketika anak-anak datang ke sekolah dengan semangat, belajar dengan gembira, dan pulang membawa kebiasaan baik, maka karakter tumbuh bukan dari perintah, melainkan dari pengalaman. Inilah wajah baru pendidikan Indonesia: bergerak dari sistem menuju ekosistem.
Sekolah bukan lagi sekadar tempat belajar, tapi ruang hidup tempat guru, murid, dan masyarakat tumbuh bersama. Di banyak daerah, guru mengajar dengan empati, orang tua terlibat dalam kegiatan sekolah, dan lingkungan menjadi bagian dari proses belajar.
Setahun perjalanan ini menunjukkan bahwa pendidikan adalah perjalanan membentuk manusia, bukan sekadar proyek pembangunan. Revitalisasi sekolah memberi ruang untuk tumbuh, digitalisasi membuka peluang untuk belajar, dan kesejahteraan guru menyalakan semangat untuk mengajar.
Tantangan memang belum hilang—akses internet di wilayah timur masih terbatas, pelatihan guru belum merata, dan sosialisasi kebijakan masih perlu diperkuat. Namun arah sudah benar. Langkah-langkah kecil ini menyatu dalam visi besar: pendidikan yang inklusif, bermutu, dan berpihak pada semua anak bangsa.
Kini, pendidikan Indonesia tidak lagi sekadar menjangkau, tetapi merangkul. Ia hadir di sekolah di perkotaan maupun di pulau-pulau terluar, di ruang kelas yang ber-AC maupun di bilik bambu. Semua anak, tanpa memandang asal dan kemampuan ekonomi, memiliki hak yang sama untuk bermimpi.
Seorang guru di Maluku pernah berkata, “Kami tidak lagi takut tertinggal. Karena sekarang, sekolah kami ikut berjalan bersama Indonesia.”
Kalimat sederhana itu mungkin lebih kuat dari statistik mana pun—karena di sanalah esensi pendidikan berdampak: ketika perubahan bukan hanya dirasakan, tetapi dimiliki bersama.(***)
Penulis adalah Pengamat Ekonomi & Pendidikan Cilacap Raya
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post